Sabtu, 22 Oktober 2011

Teori Karir Donald E. Super

  • Teori Karir Donald E. Super


Donald Super’s Developmental Self-Concept Theory


Donald Super percaya bahwa manusia itu bisa melakukan banyak hal namun jalan ditempat dan perubahan yang terjadi pada individu itu berkelanjutan.

Pokok-pokok pikiran Anne Roe - Dian Pranata Blogspot.com

Teori karir Anne Roe

Teori Karir Anne Roe
POKOK-POKOK PIKIRAN TEORI KARIR ANNE ROE


Anne Row adalah seorang guru besar di University of Arizona. salah satu teori yang dihasilkan oleh Anne Row adalah tentang pilihan jabatan yang dapat dijabarkan sebagai berikut:


1. Teori Anne Roe didasarkan pada suatu usaha untuk menunjukkan suatu hubungan antara pilihan karir dengan perbedaan individu seperti perbedaan latar belakang, perbedaan phisik, perbedaan psikologis dan perbedaan pengalaman.
2. Roe adalah pengikut aliran Humanistik, walau memiliki perbedaan-perbedaan dengan aliran Humanistik. Aliran Humanistik menyatakan bahwa ada 8 kebutuhan yaitu:
a. Kebutuhan fisiologis
b. Kebutuhan rasa aman
c. Kebutuhan untuk memiliki dan mencintai
d. Kebutuhan untuk dianggap penting, respek, harga diri dan indipenden
e. Kebutuhan akan informasi
f. Kebutuhan untuk bisa memahami dan dipahami
g. Kebutunan untuk keindahan
h. Kebutuhan untuk aktualisasi diri.

Dalam teorinya, Roe lebih mementingkan adanya kebutuhan untuk bisa dianggap penting, respek, harga diri dan indipenden bagi seseorang untuk dapat mengaktualisasikan diri.

3. Roe mengelompokkan 8 jenis pekerjaan sebagai berikut:
a. Services: Jenis pekerjaan ini mengutamakan layanan kepada orang lain. Pelayanan yang dimaksud adalah perhatian terhadap kebutuhan dan kesejahteraan orang lain. Pekerjaan ini antara lain adalah pekerja sosial, konselor, layanan-layanan konsultasi dan lain sebagainya.
b. Bussiness Contact: Jenis pekerjaan ini berhubungan dengan kegiatan tatap muka antara dua orang atau lebih yang membicarakan keuntungan, investasi, real estate. Hubungan antara dua orang sangat dibutuhkan, tetapi sebatas kegiatan persuasif dari pada pemberian bantuan

c. Organization: Jenis pekerjaan ini berbubungan erat dengan kegiatan manajerial baik di sebuah perusahaan atau lembaga-lembaga baik pemerintahan atau swasta. Jenis pekerjaan ini menutamakan efisiensi dan produktivitas sebuah lembaga, sehingga di dalamnya terdapat hubungan interpersonal yang sangat formal.

d. Technology: Jenis pekerjaan ini berkaitan erat dengan produksi barang, perawatan dan transportasi untuk mendukung layanan jasa. Hubungan interpersonal sangat kurang, karena mereka cenderung berhubungan dengan alat-alat.

e. Outdoor: Jenis pekerjaan ini berhubungan dengan kegiatan-kegiatan seperti penyemaian dan penanaman tanaman-tanama hutan, usaha-usaha pengeboran bahan mineral dan gas bumi, usaha-usaha pengumpulan hasil hutan, kegiatan yang berkaitan dengan kelautan, usaha penangkaran binatan liar dan lain sebagainya. Jenis pekerjaan ini menunjukkan adanya hubungan antar manusia yang minim.

f. Sience: Jenis pekerjaan ini berhubungan dengan pengembangan sebuah teori ilmu pengetahuan dan bagaimana mengaplikasikan teori ilmu pengetahuan. Hubungan antar manusia dilihat dari jenis ilmu pengetahuan apa yang sedang dikembangkan. Jika berhubungan dengan ilmu alam, maka relasi antar manusia semakin sedikit, tetapi jika berhubungan dengan ilmu sosial, maka relasi antar manusia dapat menjadi besar.

g. General Culture: Jenis pekerjaan ini lebih mengutamakan kegiatan melestarikan dan mentransmisikan budaya. Jenis pekerjaan ini memiliki perhatian terhadap aktivitas manusia sebagai suatu kelompok daripada individu. Pekerjaan ini antara lain di bidang pendidikan, jurnalistik dan bidang bahasa. Seringkali kelompok guru dikelompokkan dalam jenis pekerjaan ini.
h. Arts and Entertainment: Jenis pekerjaan ini membutuhkan orang-orang yang memiliki keterampilan dalam bidang seni dan hiburan.

4. Untuk tiap jenis kelompok pekerjaan tersebut di atas, terdiri dari 6 level atau tingkatan:

a. Proffesional and managerial 1: Kelompok ini memiliki ciri Independen dan tanggungjawab. Hal ini menunjukkan bahwa mereka adalah inovator, kreator dan berposisi sebagai pimpinan dalam hal manajerial dan administratif yang memiliki tanggungjawab terhadap bidang-bidang yang digelutinya. Kriteria mereka adalah: (1) memiliki independensi yang kuat dalam berbagai bidang, (2) memiliki kemampuan untuk membuat kebijakan, (3) memiliki pendidikan yang memadai (S1 atau yang sederajat).

b. Proffesional and managerial 2: Kelompok kedua ini memiliki perbedaan yang signifikan dengan kelompok pertama di atas. Perbedaan yang mecolok adalah: (1) mereka memiliki kemampuan untuk menginterpretasi kebijakan, (2) memiliki kemampuan untuk melaksanakan kebijakan dan (3) memiliki pendidikan setingkat diploma.

c. Semiprofessional and smal business: Kelompok ini memiliki kriteria sebagai berikut; (1) memiliki tanggungjawab yang rendah terhadap orang lain, (2) mampu melaksanakan kebijakan untuk dirinya sendiri dan (3) memiliki pendidikan setingkat sekolah menengah.
d. Skilled: Kelompok ini memerlukan magang atau pelatihan untuk dapat mengerjakan suatu kegiatan tertentu.
e. Semiskilled: Kelompok ini merupakan kelompok manusia yang melaksanakan pekerjaan dengan tidak memiliki otonomi sendiri, serta ijin untuk melaksanakan tindakan didasarkan pada perintah.
f. Unskilled: Kelompok ini melaksanakan tugas dengan tidak didasarkan pada keterampilan tertentu. Kelompok ini tidak membutuhkan keterampilan atau pendidikan tertentu dalam melaksanakan tugasnya.

5. Roe memberikan jenis-jenis pola asuh orang tua sebagai berikut: (a) konsentrasi emosi berpusat pada anak yang ditunjukkan dengan perilaku overprotective atau overdemanding, (b) penolakan terhadap anak dengan perilaku emotional rejection dan neglect,dan (c) penerimaan terhadap anak dengan perilaku mencintai dan menerima anak apa adanya.

6. Beberapa penelitian Roe menunjukkan adanya relasi antara pola asuh orang tua dengan orientasi pilihan karir siswa.

7. Diagram Hipotesis yang menunjukkan relasi antara pilihan pekerjaan dan hubungan (pola asuh) orang tua:

Teori Karir Anne Roe- Bimbingan Konseling Karir

         
 Mengenal Teori Anne Roe


Pada tahun 1965 Anne Roe menerima penghargaan dari American Psychological Association dalam acara Richardson Kreativitas Award. Anne menerima penghargaan "the most outstanding contribution during lite preceding year or recent years toward improving creative and innovative talents or developing or utilizing sucli talents." Yaitu sebagai kontribusi yang paling beredar pada tahun sebelumnya atau tahun-tahun terakhir terhadap meningkatkan bakat kreatif dan inovatif atau mengembangkan atau memanfaatkan bakat suci.
Anne Roe menerima pendidikan di Denver Sekolah Umum untuk mendapatkan gelar BA dan MA di University of Denver Anne Dilatih sebagai seorang psikolog klinis dan memegang sejumlah  penelitian, hingga 1947  ketika ia menjadi Direktur Studi Ilmuwan disponsori oleh Institut Kesehatan Mental Nasional. Pada tahun 1952 ia mengadakan Fellowship Pada tahun 1957 ia menjadi dosen psikologi di New York University, tapi pindah ke Cambridge pada tahun 1959, di mana ia diselenggarakan berturut-turut di Harvard University tulisan dosen di bidang pendidikan dan asosiasi penelitian; Direktur, Pusat Penelitian Karir.
Namun Anne Roe kembali bergerak ke arah barat menjadi dosen psikologi di University of Arizona. Kecuali untuk beberapa tahun dengan Administrasi Veteran sebagai kepala unit pelatihan,Anne telah terlibat langsung dalam penelitian. Hal ini telah mencakup topik-topik  fungsi intelektual pada orang dewasa normal, dan gangguan mental, perilaku bayi baru lahir anak asuh dari latar belakang yang berbeda; efek dari alkohol; kepribadian dari para ilmuwan dan seniman, psikologi dari pekerjaan, perilaku dan evolusi , dan psikologi kreativitas.
A.    Latar Belakang Munculnya Teori
Hubungan dini di dalam keluarga dan pengaruhnya kemudian terhadap arah karir merupakan fokus utama karya Anne Roe (1956). Analisis tentang perbedaan dalam kepribadian, aptitude, intelligensi, dan latar belakang yang mungkin terkait dengan pilihan karir merupakan tujuan utama penelitiannya. Dia meneliti sejumlah ilmuwan terkemuka dalam bidang fisika, biologi, dan sosial untuk menentukan apakah arah vokasional itu erat hubungannya dengan perkembangan dini kepribadian.
Roe (1956) menekankan bahwa pengalaman pada awal masa kanak-kanak memainkan peranan penting dalam pencapaian kepuasan dalam bidang yang dipilih seseorang. Penelitiannya menginvestigasi bagaimana pola asuh orang tua (parental styles) mempengaruhi hierarki kebutuhan anak, dan bagaimana hubungan antara kebutuhan ini dengan gaya hidup masa dewasanya. Dalam mengembangkan teorinya, dia menggunakan teori Maslow tentang Hierarchy of Needs sebagai dasar. Struktur kebutuhan seorang individu  menurut Roe, sangat dipengaruhi oleh frustasi dan kepuasan pada awal masa kanak-kanak. Misalnya, individu yang menginginkan pekerjaan yang menuntut kontak dengan orang (person oriented) adalah mereka yang didorong oleh kebutuhan yang kuat untuk memperoleh kasih sayang dan mendapatkan pengakuan sebagai anggota kelompok. Mereka yang memilih jenis pekerjaan non-person oriented akan memenuhi kebutuhan akan rasa aman pada tingkat yang lebih rendah. Roe berhipotesis bahwa individu yang senang bekerja dengan orang adalah mereka yang dibesarkan oleh orang tua yang penuh kehangatan dan penerimaan, dan mereka yang menghindari kontak dengan orang adalah yang dibesarkan oleh orang tua yang dingin atau menolak kehadiran anaknya.
Roe (1956) mengklasifikasikan okupasi ke dalam dua kategori utama: person oriented dan nonperson oriented. Dia berpendapat bahwa pemilihan sebuah kategori okupasi terutama didasarkan atas struktur kebutuhan individu tetapi tingkat pencapaian dalam suatu kategori lebih tergantung pada tingkat kemampuan dan latar belakang sosio-ekonomi individu. Iklim hubungan antara anak dan orang tua merupakan kekuatan utama yang membangkitkan kebutuhan, minat, dan sikap yang kemudian tercermin dalam pemilihan pekerjaan.
Roe memodifikasi teorinya setelah beberapa studi menyangkal pendiriannya bahwa perbedaan interaksi orang tua-anak menghasilkan perbedaan dalam pemilihan pekerjaan. Kini dia mengambil posisi bahwa orientasi dini seorang individu terkait dengan keputusan utama yang diambilnya di kemudian hari terutama dalam pemilihan okupasi tetapi variable-variabel lain yang tidak diperhitungkan dalam teorinya pun merupakan faktor-faktor yang penting.
B.     Inti Teori
Pada dasarnya teori Anne Roe menekankan unsur perkembangan dalam pilihan karir yang di pengaruhi pola asuh orang tua terhadap anaknya. Dalam perkembangan jabatan Anne Roe menekankan dampak dari keseluruhan pengalaman anak kecil dalam lingkungan keluarga inti. Gaya interaksi orang tua dan anak, serta pengaruh pola pendidikan keluarga menjadi kebutuhan perkembangan anak yang berhubungan dengan kebutuhan pribadi dan gaya hidup dewasa nanti.
On the basis of her intensive investigations of scientities’ early childhoods, Anne Roe (1957) created a theory that emphasizes need satisfaction in career chois. Persons from child-centered, rejecting, for accepting humes are predisposet to compensate for ( or duplicate) in their jobs experiences that they missed ( or enjoyt) in their childhood homes.
Dari pendapat Roe di atas timbulah tiga kategori pendidikan yang di terapkan oleh orang tua,  diantaranya :
  1. Menjauhi anak
Perilaku orang tua yang menjauhi anak cenderung akan bersifat ;
a.       Menolak : dingin, bermusuhan, menunjukkan kekurangan-kekurangan dan
mengabaikan preferensi-preferensi dan opini-opini anak.
b.      Mengabaikan: memberikan perawatan fisik minimum tidak memberikan afeksi, dingin tetapi tidak menghina.

  1. Konsentrasi Emosional pada Anak
Pemusatan perhatian pada anak memiliki dua kategori,yaitu :
a.       Overprotecting. Memberikan perlindungan berlebih-lebihan (cenderung hangat),terlalu baik, penuh kasih sayang, membolehkan sedikit kebebasan pribadi, melindungi dari yang menyakitkan.
b.      Overdemanding. Terlalu menuntut (cenderung dingin), menentukan standar-standar tinggi, mendesak untuk memperoleh prestasi akademik yang tinggi, dalam bentuknya yang ekstrim cenderung menolak.

  1. Penerimaan terhadap Anak
Pola penerimaan terhadap anak di bagi menjadi dua, yaitu ;
a.       Santai (casual): sedikit kasih sayang, responsif kalau pikiran tidak kacau,
tidak ambil pusing tentang anak, membuat beberapa peraturan dan tidak
melaksanakannya.
b.      Penuh kasih (loving): memberikan perhatian hangat dan penuh kasih sayang, membantu dengan rancangan-rancangan, menggunakan penalaran dan bukan hukuman, mendorong independensi.
Dari subdivisi kategori emosional yang ada di dalam rumah menurut Roe, Kategori penuh kasih, overprotective dan overdemanding akan cenderung menghasilkan seseorang yang kejuruannya beroriantasi pada kontak dengan orang lain (Person Oriented). Sedangkan kategori santai, menolak dan mengabaikan cenderung menghasilkan seseorang yang kejuruannya beroriantasi pada benda – benda (Non_Person Oriented).

Selain itu Anne Roe juga menerapkan klasifikasi hirarkis mengenai tahap – tahap kebutuhan (needs) manusia yang di kemukakan oleh Maslow. Pendapat Maslow, kebutuhan – kebutuhan pada tahap lebih tinggi tidak akan di rasakan dan di hayati kalau kebutuhan pada tahap di bawahnya tidak terpenuhi secara memuaskan.  Anne Roe dalam  mengembangkan teori Maslow yang diklasifikasikan sebagai berikut :

                                   5. Aktualisasi diri                                            
                                                      4. Kebutuhan penghargaan diri
3. Kebutuhan kasih sayang dan kebersamaan
2. Kebutuhan rasa aman (psikis & fisik)
                                                                          1. Kebutuhan fisiologis









Dengan demikian struktur kebutuhan seorang individu, menurut Roe, sangat dipengaruhi oleh frustasi dan kepuasan pada awal masa kanak-kanak. Misalnya, individu yang menginginkan pekerjaan yang menuntut kontak dengan orang adalah mereka yang didorong oleh kebutuhan yang kuat untuk memperoleh kasih sayang dan mendapatkan pengakuan sebagai anggota kelompok. Mereka yang memilih jenis pekerjaan non-orang akan memenuhi kebutuhan akan rasa aman pada tingkat yang lebih rendah. Roe berhipotesis bahwa individu yang senang bekerja dengan orang adalah mereka yang dibesarkan oleh orang tua yang penuh kehangatan dan penerimaan, dan mereka yang menghindari kontak dengan orang adalah yang dibesarkan oleh orang tua yang dingin dan/atau menolak kehadiran anaknya.
Roe menggolongkan seluruh jabatan atas dua kategori dasar, yaitu :
1.      Person Oriented, jabatan yang berorientasi pada kontak dengan orang lain. Misalnya orang – orang yang suka bekerja bersama dengan orang lain, di anggap cenderung demikian karena mereka menghayati kebutuhan yang kuat untuk di terima baik oleh orang lain. Semua orang ini di didik oleh orang tua yang menunjukan sikap menerima dan menyayangi.
Contohnya : jasa, bisnis, menejemen, pelayanan sosial, dan aktivitas dibidang cultural.
2.      Non- Person Oriented, yang berorientasi pada benda-benda. Misalnya orang- orang yang lebih suka bekerja dengan menangani barang atau benda tanpa mencari kontak dengan individu di sekitarnya itu di anggap berkecenderungan demikian karena mereka menghayati kebutuhan yang kuat untuk merasa aman dan terlindung dari bahaya.
Contohnya : teknologi, pekerjaan di lapangan seperti pertanian dan pertambangan dan penelitian ilmiah.
Berkaitan dengan hal tersebut di atas Anne Roe mengkategorikan klasifikasi pekerjaan seperti table yang di bawah ini.


TABEL I
KLASIFIKASI JABATAN MENURUT ANNE ROE
Kelompok
Tingkatan
  1. Pemberi Layanan (service)
  2. Usaha atau Dagang (Business Contact)
  3. Organisasi (Organijation)
  4. Teknologi (Technology)
  5. Pekerjaan Lapangan (Out door)
  6. Pengetahuan (Science)
  7. Budaya (General Cultural)
  8. Seni dan Pertunjukan (Art and Entertainment)
  1. Profesional dan Manajerial II
  2. Profesional dan Manajerial II
  3. Semi Profesional dan Small Business
  4. Skilled
  5. Semiskilled
  6. Unskilled

            Orang/seseorang yang memiliki kecenderungan lebih banyak berorientasi orang, kebanyakan memilih kelompok I, II, VII ,dan VIII, yaitu : kelompok pemberian layanan (service), usaha atau dagang (business contract), budaya (general cultural), serta seni dan pertunjukan (art and entertainment).
            Sedangkan orang yang memiliki kecenderungan lebih banyak berorientasi kepada bukan orang atau kebendaan kebanyakan memilih kelompok IV, V, dan VI yaitu : kelompok teknologi (technology), pekerjaan lapangan (out door), dan pengetahuan (science).
            Dalam bukunya The Psichology Of Occupations(1956), Menurut Roe kategori jabatan di tentukan oleh kemampuan seseorang dan latar belakang sosial-kulturalnya. Menegaskan pula bahwa rata – rata anak yang berusia 18 tahun kepentingannya akan cenderung mengkristal pada populasi umum. Berlainan dengan karya tulisnya yang terbit (1972) Roe meninggalkan pandangannya bahwa corak pergaulan orang tua dan anak yang berbeda - beda akan menghasilkan pilihan jabatan yang berlainan. Dalam hal ini Samuel H. Osipow (1973) berpendapat bahwa konselor sekolah dapat membantu orang muda yang belum mengenal dirinya sendiri mengenai pengaruh kebutuhan pokok yang melandasi motifasinya dalam memperjuangkan suatu gaya hidup (life style). Dengan demikian konselor sebaiknya meningkatkan tahap kebutuhan klien karena jaminan ekonomis saja tidak membuat orang dewasa selalu merasa bahagia.
C.    Keunggulan dan Kelemahan Teori
1.       Keunggulan
ü  Dengan adanya teori Roe ini dapat mempermudah mengklasifikasikan jabatan apa yang sesuai dengan potensi individu tersebut berdasarkan pola asuh orang tua, interaksi, serta pemenuhan kebutuhan.
ü  Dengan melihat cultural seseorang  maka dalam penyesuaian diri di lingkungan pekerjaan akan lebih mudah untuk mempertahankan jabatannya.
ü  Memudahkan konselor dalam memberikan layanan karir kepada klien dengan melihat latar belakang klien di masa kecil.
ü  Memudahkan konselor dalam memberikan layanan karir pada kliennya, karena menurut roe karir anak di pengaruhi oleh pola asuh orang tua.
2.      Kelemahan
ü  Dalam menentukan jabatan karir tidak menggunakan nilai studi sebagai acuannya sehingga pendidikan kurang di minati.
ü  Karena hanya faktor kemampuan dan cultural saja yang di tekankan di dalam pencapaian suatu karir maka individu hanya menggunakan tenaga untuk mencapai aktualisasi diri.
ü  Teori Anne Roe tidak memandang bakat , minat, dan motivasi yang dimiliki anak.
ü  Menjadi beban psikis pada diri anak, apabila anak tidak mencapai kebutuhan yang diinginkan orang tua secara maksimal

Demikian uraian singkat tentang Teori Konseling Karir dari Anne Roe. Semoga bermanfaat.

EGOISME - Makalah Psikologi

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Beberapa ahli psikologi perkembangan mengatakan, masa paling penting dalam membentuk kepribadian seseorang adalah antara 0-5 tahun. Jadi, tidak dalam kandungan maupun setelah masa kanak-kanaknya telah lewat. Selama masa kanak-kanak itulah dasar-dasar kepribadian ditanamkan. Anak yang dilahirkan dengan sejumlah naluri perlu dikembangkan agar dapat hidup dengan baik dan berguna dalam masyarakatnya. Dengan kasih sayang, perhatian, belaian, bercakap-cakap, dan bermain dengan si kecil, secara perlahan-lahan. Selain itu, anak juga perlu diperkenalkan pada nilai-nilai luhur dan kebiasaan yang baik. Orangtua dan guru perlu melarang hal-hal yang tidak baik, bahkan kalau perlu menghukum jika larangan sudah tidak mempan lagi, sesuai umur anak, dan membimbing anak ke arah yang baik. Anak perlu dilatih untuk menghargai orang lain dan bersikap sopan santun, sambil menerapkan moral yang tinggi di rumah. Seperti jangan asal janji bila tidak bisa memenuhinya, jika kakaknya sedang tidur, ajak anak main tanpa teriak-teriak atau kecilkanlah suara televisi, sambil menyebutkan alasannya (belajar menghargai orang lain dan respek pada kebutuhannya). Jika orangtua terlalu sibuk, malas, terlalu mengikuti kemauan anak, atau saling bertentangan dalam mendidik anak, anak dapat kehilangan arah, jadi cenderung bersikap "semau gue", alias jadi egois atau mau menang sendiri Apakah sikap egois bisa diperbaiki? Jika masih kecil lebih mudah diperbaiki, tetapi, kalau sudah remaja, apalagi dewasa, jauh lebih sukar. Seorang psikolog dan ahli pendidik James Dobson berkata dalam bukunya Dare to Dicipline: "Psikolog yang menghadapi remaja yang tidak mempunyai respek sama sekali terhadap orangtuanya, sebab orangtuanya terlalu memanjakan dia sampai membiarkan anak terus "menang", sampai tidak terkendali lagi, adalah bagai dokter yang berhadapan dengan pasien penderita kanker ganas." Sukar diperbaiki lagi. Untuk itulah dibutuhkan suatu penanganan secara dini untuk mengatasi sifat egois pada anak.
B. Tujuan
Kegiatan bimbingan dan konseling untuk anak ini memiliki dua tujuan utama. Pertama adalah sebagai sarana pembelajaran dalam melakukan bimbingan dan konseling khususnya bagi penulis yang tengah mempelajari mata kuliah Bimbingan Konseling Untuk Anak Usia Dini. Yang kedua, untuk membantu anak yang menjadi sasaran bimbingan, yaitu dengan memberikan treatmen yang sesuai dengan permasalahan yang dialaminya.


BAB II
LANDASAN TEORITIS
A.    Pengertian Anak Egois
Secara alamiah sifat egois timbul pada anak usia 2 tahun karena pada usia tersebut mereka mempunyai karakter egosentris. Mereka melihat segala sesuatu dari sudut pandangnya dan belum mampu melihat dari kaca mata orang lain. Sehingga seringkali jika mereka menginginkan sesuatu hal, harus dipenuhi saat itu juga. Mereka tidak memperdulikan apakah keinginannya merugikan orang lain atau tidak. Mereka juga tidak peduli jika orang lain menangis akibat perbuatannya mengambil secara paksa dari orang lain. Yang penting apa yang dia inginkan dan apa yang dia suka diperolehnya. Bahkan untuk memuluskan keinginannya, kadang dia mengeluarkan senjata ampuh dengan menangis, berteriak bahkan berguling- guling di lantai. Namun sebaliknya, jika dia mempunyai sesuatu ataupun kesenangan, maka dia enggan berbagi. Dia ingin menikmati sendiri barang yang dimilikinya. Bahkan milik orang lain pun kadang diakui sebagai miliknya jika dia menginginkannya. Dia tidak ingin orang lain mengganggu kesenangannya. Anak egois maunya menang sendiri.
1.        Michele Borba, Ed.D., dalam bukunya Don’t Give Me that Attitude!: 24 Selfish, Rude Behaviors and How to Stop Them menjelaskan bahwa anak-anak yang selfish alias egois adalah anak-anak yang tidak senang menjadi bagian dari sekitarnya. Mereka selalu menginginkan segala sesuatu sesuai dengan cara mereka, meletakkan kebutuhan dan urusan mereka di atas yang lainnya, dan jarang sekali mempertimbangkan perasaan orang lain. Itulah sebabnya, mereka berusaha membuat orangtuanya percaya bahwa perasaan mereka lebih penting dibandingkan perasaan dan kebutuhan orang lain. Sudah tentu anak egois ini perlu disadarkan dan diperbaiki sikapnya. Anak perlu diingatkan bahwa di samping dirinya, ada juga anak-anak lain yang sama-sama kita cintai. Ia perlu didorong agar mengembangkan sikap-sikap baik seperti tidak mementingkan diri sendiri, pemurah, dan penuh perhatian.
2.        Menurut Heribertus Gunawan, anak yang egois hanya peduli dengan dirinya sendiri, hanya berfokus pada kesejahteraan dirinya sendiri tanpa peduli orang lain. Anak usia prasekolah umumnya masih egosentris karena dunianya masih terpusat pada dirinya sendiri, karena merasa dirinya dan dunia sekitarnya adalah satu.
3.        Dra. Risa Kolopaking, psikolog dari RSIA Hermina Bekasi menjelaskan bahwa anak balita dikatakan memiliki sikap egois yang tinggi karena setiap kegiatan yang dilakukan masih terpusat pada dirinya sendiri. Sifat individunya masih sangat dominan. Ini terlihat dari cara dia yang selalu mendahulukan dirinya. Begitu juga kalau ingin sesuatu dan tak dituruti, anak akan menangis. Itu yang membuatnya disebut egois. Padahal, anak sendiri sebenarnya masih belum paham, perbuatannya disukai atau tidak oleh orang lain.

B. Jenis-jenis Egoisme
1. Egoisme Psikologis
1.1. Pendapat pokok faham egoisme psikologis:
Egoisme psikologis pada pokoknya berpendapat bahwa kodrat manusia dalam kenyataannya secara psikologis cenderung memilih tindakan yang menguntungkan bagi dirinya sendiri. Menurut faham ini, apa yang disebut sebagai sikap altruis (misalnya, sikap mau mencintai dan berkorban diri demi kepentingan orang lain) hanyalah mitos belaka. Kalau dalam praktek kehidupan sehari-hari nampaknya, hal itu memang hanya nampaknya saja demikian. Sebab apabila orang mau meneliti apa motivasi sesungguhnya yang mendorong dilakukan tindakan itu, akan menjadi nyata bahwa tindakan altruis itu tidak lain hanyalah bentuk terselubung dari cinta diri.
1.2. Argumentasi untuk menolak kemungkinan adanya sikap altruis sungguh-sungguh:
1.2.1. Setiap tindakan yang dilakukan dengan bebas pada dasarnya muncul dari pilihan pelakunya untuk melakukan sesuatu yang paling ia ingini untuk dilakukan. Misalnya seorang yang menyumbangkan uangnya ke proyek sosial pengumpulan dana bagi para korban gempa bumi tidak dapat dikatakan bahwa ia bersikap altruis, sedangkan yang memakainya untuk menonton film bersikap egois. Karena pada keduanya, si pelaku hanyalah melakukan apa yang masing-masing memang paling mereka ingin lakukan. Yang satu justru merasa senang dan bahagia kalau dia dapat menyumbangkan uangnya pada proyek sosial, sedangkan yang lain merasa senang dan bahagia kalau dapat melakasanakan apa yang ia inginkan, dan dalam hal ini yang ia inginkan adalah menonton film. Jadi kedua-duanya sebenarnya mencari apa yang menguntungkan untuk dirinya sendiri.
1.2.2. Suatu tindakan hanya nampaknya saja tidak bersifat egois atau altruis. Kalau motivasi sesungguhnya dapat diketahui, maka akan menjadi nyata bahwa tindakan itu sebenarnya didasari oleh cinta diri. Misalnya orang yang menyumbangkan uangnya ke proyek sosial tadi, setelah melakukan apa yang ingin dia lakukan, ia merasa senang dan puas dan kemudian dapat tidur dengan pulas di waktu malam karena merasa telah menunaikan tugasnya dengan baik. Sedangkan kalau ia tidak menyumbangkan uangnya pada proyek sosial, maka hatinuraninya terus merasa terganggu. Jadi dalam melakukan pemberian dana itu sebenarnya ia mempunyai pamrih pribadi.
1.2.3. Untuk menjelaskan pendapat di atas, Thomas Hobbes (1588-1679) dan kemudian dikembangkan oleh Moritz Schlick (1881-1936) mengajukan pendapat bahwa untuk menilai suatu tindakan, orang perlu menemukan motivasi sesungguhnya dari tindakan tersebut, dan untuk ini orang perlu tidak hanya berhenti pada penafsiran yang dangkal. Menyebut suatu tindakan sebagai ungkapan sikap altruis menurut dia merupakan suatu penafsiran yang terlalu dangkal terhadap kejadian yang sesungguhnya.Kalau orang mau mengakui kenyataan, motivasi yang sesungguhnya selalu mengandung unsur cinta diri. Sebagai contoh misalnya apa yang disebut cintakasih. Motivasi yang sesungguhnya di balik tindakan menolong orang lain adalah mau menunjukkan bahwa dirinya lebih baik dari yang lain, lebih mampu, lebih unggul dari yang ditolong. Dalam tindakan berbelaskasih, alasan yang sebenarnya mengapa kita mempunyai rasa belaskasih terhadap sesama manusia yang menderita adalah karena kita sendiri berharap agar kalau kita berada dalam situsai macam itu orang lain pun berbelaskasih atau mau menolong kita. Pada orang yang berbelaskasih ada kekhawatiran jangan-jangan penderitaan atau kemalangan yang sama nanti suatu ketika juga menimpa dirinya.
1.3. Tanggapan kritis:
Seperti pernah secara cukup jeli dikemukakan oleh James Rachels, argumentasi yang mendasari faham egoisme psikologis sepintas nampak sulit dibantah, namun argumentasinya sebenarnya muncul karena beberapa kerancuan pengertian.Kalau kerancuan tersebut dapat diurai, menjadi jelas bahwa argumentasi mereka yang menganut egoisme psikologis tidak dapat dipertahankan.Sekurang-kurangnya terkandung tiga jenis kerancuan pengertian dalam argumentasi yang dikemukakan oleh para penganut dan penganjur egoisme psikologis.Kerancuan yang pertama adalah kerancuan pengertian antara egoisme dalam arti mendahulukan kepentingan diri sendiri (selfishness) dan egoisme dalam arti berguna untuk diri sendiri (self-interest).Keduanya tidak sama. Kalau saya mematuhi hukum yang berlaku atau bekerja keras di kantor, ini tidak dapat dikatakan bahwa saya egois dalam arti hanya mendahulukan kepentingan diri saya sendiri.Perbuatan itu memang pada dasarnya berguna (atau mungkin lebih tepat bernilai) untuk diri saya sendiri.Arti yang kedua ini sebenarnya tidak tepat untuk disebut egois. Dalam pengertian egois sebenarnya selalu terkandung penilaian negatif bahwa si pelaku tidak mempedulikan kepentingan orang lain dan hanya mementingkan dirinya sendiri melulu.
Kerancuan yang kedua adalah kerancuan antara pengertian perilaku yang mengejar kepentingan diri (self-interested behavior) dan perilaku yang disukai, karena memberi nikmat (the pursuit of pleasure).Dalam kehidupan sehari-hari banyak hal seringkali kita lakukan memang karena kita menyukainya.Tetapi kenyataan bahwa kita melakukan suatu perbuatan karena kita menyukainya, atau bahwa perbuatan itu membawa kenikmatan tersendiri bagi kita, tidak dengan sendirinya dapat dikatakan bahwa perbuatan kita itu muncul berdasarkan motif egoisme, dalam arti hanya mengejar kepentingan diri sendiri.Kalau ada orangyang suka menghisap rokok kretek dalam-dalam setelah makan siang, karena hal itu terasa nikmat untuknya, kita tidak dapat mengatakan bahwa perbuatan orang itu dengan sendirinya bermotifkan egoisme.Baru kalau dalam menghisap rokok tersebut ia sama sekali tidak peduli akan keluhan tetangganya yang sedang sakit flu, maka perbuatan itu dapat dikatakan sebagai perbuatan yang egois.
Kerancuan yang ketiga adalah kerancuan pengertian bahwa suatu perhatian akan kepentingan diri sendiri selalu tidak dapat diselaraskan dengan kepentingan sejati dari orang lain. Karena sudah jelas bahwa setiap orang (atau hampir setiap orang) selalu memperhatikan apa yang menjadi kepentingannya, para penganut egoisme psikologis menarik kesimpulan bahwa setiap orang itu egois dan tidak pernah secara sungguh-sungguh memperhatikan kepentingan orang lain.Anggapan ini tentu saja keliru. Pengejaran kepentingan diri sendiri tidak dengan sendirinya bertabrakan dengan kepentingan orang lain. Memang tidak jarang terjadi bahwa timbul tabrakan antara kepentingan diri kita sendiri dengan kepentingan orang lain. Tetapi hal ini tidak selalu terjadi, dan kalau itu terjadi, tidak dengan sendirinya pula bahwa kita mendahulukan kepentingan diri kita sendiri seraya mengorbankan kepentingan orang lain. Kenyataan bahwa ada orang yang secara tulus berkorban untuk orang lain, seperti seorang ibu bagi anaknya, seorang gadis bagi pemuda idamannya, dsb., membuktikan bahwa dalam berbuat, orang pada dasarnya secara psikologis tidak selalu didorong oleh egoisme.
Dalam usaha untuk menemukan faktor pokok yang menentukan tindakan manusia, para penganut egoisme psikologis melupakan bahwa motivasi tindakan manusia itu dapat bersifat kompleks.Menyatakan bahwa semua tindakan manusia pada dasarnya didorong oleh motivasi egois merupakan suatu penyederhanaan yang mengabaikan kompleksitas tersebut.Pernyataan yang bersifat reduksionistik (terlalu menyederhanakan) itu juga mengungkapkan sikap yang terlalu sinis terhadap perbuatan baik orang. Dengan alasan menekankan kejujuran untuk mengakui apa yang sesungguh-nyamenjadi motivasi seseorang untuk bertindak, lalu secara sinis terlalu cepat curiga akan maksud baik orang lain.
2. Egoisme Etis
2.1. Pendapat pokok faham egoisme etis:
Egoisme etis adalah suatu faham etika normatif yang menyatakan bahwa setiap orang wajib memilih tindakan yang paling menguntungkan bagi dirinya sendiri. Dengan kata lain, menurut faham ini, tindakan yang baik dan dengan demikian wajib diambil adalah tindakan yang menguntungkan bagi diri sendiri. Satu-satunya kewajiban manusia adalah mengusahakan agar kepentingannya sendiri dapat terjamin. Ini tidak berarti bahwa kepentingan orang lain harus senantiasa diabaikan. Karena, bisa jadi demi pencapaian hasil yang paling menguntungkan untuk diri sendiri, orang justru perlu mengindahkan kepentingan orang lain. Namun dalam hal ini kenyataan bahwa tindakan itu membawa keuntungan atau kebaikan untuk orang lain bukanlah hal yang membuat tindakan tersebut benar. Yang membuat tindakan itu benar adalah fakta bahwa tindakan itu menunjang usaha untuk memperoleh apa yang paling menguntungkan bagi dirinya.Faham ini juga tidak bermaksud menganjurkan untuk mencari nikmat pribadi sepuas-puasnya, seperti halnya diajarkan oleh faham Hedonisme. Justru dalam banyak hal faham Egoisme Etis melarang pencarian nikmat pribadi, karena hal itu dalam jangka panjang justru tidak menguntungkan. Yang dianjurkan oleh Egoisme Etis adalah agar setiap orang melakukan apa yang sesungguhnya dalam jangka panjang akan menguntungkan untuk dirinya (“A person ought to do what really is to his or her own best advantage, over the long run.”) Egoisme Etis memang menganjurkan “selfishness” tetapi bukan “foolishness”.
2.2. Argumen-argumen untuk mendukung Egoisme Etis:
Argumen pertama yang biasanya dipakai untuk mendukung Egoisme Etis adalah kenyataan bahwa kalau kita mau mengusahakan hal-hal yang menguntungkan semua pihak, masing-masing orang justru wajib memperhatikan kepentingannya sendiri. Karena yang paling tahu tentang apa yang paling dibutuhkan oleh seseorang adalah orang itu sendiri, dan bukan orang lain. Kalau kita cenderung mau mengurusi orang lain, dapat terjadi bahwa kita justru tidak menguntungkan semua pihak.
Seperti dinyatakan oleh Robert G. Olson dalam bukunya The Morality of Self-Interest (1968), “The individual is most likely to contribute to social betterment by rationally pursuing his own best long-range interests” (“Masing-masing individu akan paling menyumbang pada perbaikan sosial [kalau masing-masing individu] dengan secara rasional mengejar apa yang dalam jangka panjang menjadi kepentingannya sendiri yang paling baik”). Masing-masing orang sendiri lah yang paling tahu akan apa yang diinginkan dan dibutuhkannya. Kita tidak pernah tahu persis apa yang diinginkan dan dibutuhkan orang lain. Kalau kita mencampuri urusan orang lain, campurtangan ini justru malah hanya merusak kesejahteraannya, karena bersifat ofensif bagi kebebasannya untuk menentukan diri. Mencampuri urusan orang lain dapat melanggar prinsip “privacy” seseorang. Menjadikan orang lain sebagai objek atau sasaran perbuatan karitatif kita, sama saja dengan merendahkan martabatnya. Dengan memperhatikan kepentingan orang lain, kita dapat menciptakan situasi ketergantungan dan kurang menghargai kemampuan serta harga diri orang yang ditolong.
Argumen tersebut kalau mau dirumuskan secara singkat akan berbunyi sebagai berikut:
(1) Setiap pribadi manusia hanya memiliki satu hidup untuk dihayati. Kalau kita memandang setiap individu bernilai sungguh-sungguh, atau kalau setiap individu secara moral bernilai dalam dirinya sendiri, maka kita mesti menyetujui bahwa hidup kita yang satu ini amatlah penting untuk dipertahankan dan dikembangkan sepenuhnya.
(2) Etika Altruis memandang hidup masing-masing individu sebagai suatu yang bila perlu mesti direlakan untuk dikorbankan bagi orang lain.
(3) Maka Etika Altruis tidak menganggap serius nilai hidup masing-masing individu manusia.
(4) Sedangkan, Egoisme Etis, yang memperkenankan setiap pribadi manusia memandang hidupnya sendiri sebagai bernilai paling tinggi, sungguh mengambil serius nilai hidup masing -masing individu manusia; bahkan Egoisme Etis dapat dika-takan merupakan satu-satunya teori moral yang melakukan hal itu.
(5) Maka Egoisme Etis merupakan teori moral yang wajib diterima.
Argumen yang ketiga yang biasanya dipakai untuk mendukung teori moral Egoisme Etis adalah kemampuannya untuk secara jelas dan sederhana memberikan satu prinsip dasar untuk menjelas-kan macam-macam aturan dan pedoman perilaku manusia sehari-hari. Di balik macam-macam aturan yang mengikat manusia dalam hidupnya sehari-hari, seperti: tidak boleh menyakiti orang lain, wajib mengatakan yang benar, wajib menepati janji, dsb., menurut Egoisme Etis, ada satu prinsip dasar, yakni prinsip mengejar kepentingan diri sendiri. Aturan-aturan tersebut dapat diterangkan berdasarkan prinsip mengejar kepentingan diri sendiri. Mengapa kita tidak boleh menyakiti orang lain, misalnya, dapat dijelaskan demikian: apabila kita biasa menyakiti orang lain, maka orang lain pun tidak akan segan-segan atau ragu-ragu untuk menyakiti kita. Kalau kita menyakiti orang lain, orang itu akan melawan dan membalas. Dapat terjadi pula bahwa karena kita menyakiti orang lain, kita akan dihukum dan dimasukkan penjara karenanya. Dengan menyakiti orang lain, akhirnya kita sendiri akan rugi. Maka pada dasarnya merupakan keuntungan bagi diri kita sendiri apabila kita tidak menyakiti orang lain. Logika pemikiran yang sama dapat dipakai untuk menjelaskan aturan-aturan lain yang wajib kita patuhi setiap hari.

2.3. Tanggapan Kritis:
Kalau kita perhatikan argumen pertama di atas secara kritis, maka akan nampak bahwa argumen tersebut sebenarnya tidak mendukung prinsip egoisme etis. Mengapa demikian? Alasan pokok yang diberikan dalam argumen pertama untuk mendukung Egoisme Etis adalah bahwa kalau setiap orang mengejar apa yang dalam jangka panjang menjadi kepentingannya sendiri yang paling baik, maka perbaikan sosial atau terpenuhinya kepentingan semua pihak justru akan terjamin, karena masing-masing individu lah yang paling tahu apa yang dia butuhkan. Kalau Egoisme Etis sungguh konsisten dengan prinsipnya, maka ia tidak perlu peduli akan perbaikan sosial atau keterjaminan bahwa kepentingan semua pihak akan lebih terpenuhi. Kenyataan bahwa dalam argumen pertama hal tersebut dipedulikan dan bahkan dijadikan alasan untuk bersikap egoistik, maka walaupun Egoisme Etis menganjurkan untuk berperilaku egoistik, prinsip dasariah yang melandasinya justru tidak egoistik.
Dalam argumentasi kedua, Egoisme Etis nampaknya keluar sebagai teori moral yang lebih baik atau lebih masuk akal daripada Etika Altruis. Akan tetapi hal itu terjadi karena faham Etika Altruis digambarkan sedemikian ekstrim, sehingga tidak sesuai dengan apa yang sesungguhnya diajarkan olehnya. Dalam argumen tersebut diberi kesan bahwa Etika Altruis itu mengajarkan bahwa kepentingan diri sendiri itu sama sekali tidak bernilai dibandingkan dengan kepentingan orang lain, sehingga setiap tuntutan untuk mengorbannkannya demi kepentingan orang lain wajib dipenuhi.
Akan tetapi gambaran tentang Etika Altruis, sebagaimana diberikan oleh Ayn Rand sebagai penganjur Egoisme Etis, itu tidak fair, karena yang diajarkan oleh Etika Altruis tidak seekstrim dalam gambaran tersebut. Yang diajarkan oleh Etika Altruis adalah bahwa meskipun hidup masing-masing individu di dunia ini merupakan suatu yang amat bernilai, namun bukanlah satu-satunya nilai dan juga bukan nilai yang mutlak. Usaha mencapai kebagiaan hidup sejati manusia tidak lepas dari perlunya bersikap baik terhadap orang lain dan kerelaan untuk berkorban bagi manusia lain. Kalau hal tersebut sasamasekali diabaikan, karena nilai hidup masing-masing individu di dunia ini dimutlakkan, maka kebahagiaan sejati manusia justru tidak akan tercapai. Demikianlah, dengan terlalu memutlakkan nilai hidup masing-masing individu manusia, Egoisme Etis justru akan menggagalkan usahanya sendiri untuk mengejar apa yang paling menunjang bagi terpenuhinya kepentingan diri yang sejati.
Berkenaan dengan argumentasi ketiga, argumen ini pun tidak berhasil menegakkan Egoisme Etis sebagai teori moral normatif yang dapat dan perlu diterima. Argumen tersebut hanya mampu menunjukkan bahwa sebagai pedoman umum dapat dikatakan bahwa memang lebih menguntungkan bagi diri sendiri untuk melaksanakan kewajiban dan tidak melanggar larangan sebagaimana diatur dalam pedoman perilaku sehari-hari. Berusaha untuk tidak menyakiti orang lain memang pada umumnya lebih menguntungkan untuk diri sendiri. Tetapi hal ini tidak selalu demikian. Kadang-kadang dalam praktek orang lebih beruntung kalau dapat menyakiti orang lain terlebih dulu daripada disakiti olehnya. Maka kewajiban untuk tidak menyakiti orang lain dan kewajiban-kewajiban moral yang lain tidak dapat diturunkan dari prinsip egoistik untuk mencari apa yang paling menguntungkan untuk diri sendiri.
Selain itu, seandainya benar bahwa dengan mendermakan uangnya kepada orang miskin pada akhirnya diri sendirilah yang diuntungkan, kiranya tidak dapat ditarik kesimpulan bahwa keuntungan diri sendirilah yang menjadi motif pokok tindakan mendermakan uang kepada orang miskin. Yang seringkali terjadi adalah bahwa motif pokok tindakan tersebut memang kepentingan orang yang ditolong, sedangkan untuk diri sendiri itu hanyalah sekunder atau merupakan akibat samping dari tindakan mau menolong orang lain tersebut. Seandainya betul bahwa semua tindakan altruistik itu bermotifkan kepentingan egoistik, maka hidup sosial manusia akan menjadi lebih sulit, karena dipenuhi rasa kecurigaan. Setiap perbuatan baik akan selalu ditanggapi dengan sikap sinis, karena toh bukan kepentingan orang yang ditolong yang menjadi fokus perhatian, tetapi diri sendiri. Orang yang mendapatkan pertolongan sulit untuk berterima kasih, karena melulu hanya dijadikan sarana saja bagi pemenuhan kepentingan diri si penolong saja.
Egoisme Etis biasanya mendasarkan diri pada apa yang dikemukakan oleh Egoisme Psikologis. Tetapi kita sudah lihat di atas, bahwa pendapat pokok Egoisme Psikologis tidak dapat dipertahankan. Sebagaimana Egoisme Psikologis, Egoisme Etis meredusir kompleksitas motivasi tindakan manusia pada motif mencari apa yang menguntungkan bagi diri sendiri. Tetapi ini tidak sesuai dengan kenyataan. Bahwasanya Egoisme Etis dapat menjelaskan kewajiban moral atas dasar prinsip kepentingan diri atau motif mencari apa yang menguntungkan bagi diri sendiri, belumlah merupakan bukti bahwa kepentingan diri merupakan satu-satunya dasar bagi kewajiban moral. Hanya kalau dapat dibuktikan bahwa kepentingan diri merupakan satu-satunya dasar bagi kewajiban moral, maka Egoisme Etis sebagai suatu teori moral normatif tidak dapat diterima.
C. Ciri-ciri Perilaku Egois
Pada anak usia prasekolah perilaku egois bila sekali-sekali muncul masih dapat dikatakan wajar, tetapi bila dilakukan dalam frekuensi dan intensitas yang tinggi digolongkan pada perilaku bermasalah. Ciri-ciri perilaku egois yang melebihi batas normal/bermasalah diantaranya adalah sebagai berikut :
• Anak kurang mampu mengontrol diri/emosi, cenderung agresif;
• Harga diri dan empati kurang berkembang;
• Memiliki sikap penuntut;
• Kualitas hubungan sosialnya buruk, sulit menjalin relasi dengan anak lain;
• Memandang orang lain secara negatif;
• Sering merebut mainan / barang yang dipegang oleh temannya;
• Enggan untuk berbagi kesenangan, mainan, atau makanan dengan orang lain;
• Suka merajuk atau menangis / merengek-rengek jika keinginannya tidak segera dituruti.
D. Penyebab Sifat Egois Pada Anak
Penyebab perilaku egois biasanya karena perlakuan dan pola asuh orang tua/pengasuh yang tidak tepat (misalnya kasih sayang orang tua yang berlebihan atau kurang, sikap orang tua yang permisif, tidak menanamkan disiplin, moral dan tanggung jawab yang diperlukan anak sebagai pengarah dalam berperilaku). Sifat egois bukanlah sifat bawaan atau keturunan, tapi masalah pembiasaan. Perkembangan sosial seorang anak dipengaruhi oleh lingkungannya, baik dari orang tua maupun orang-orang di sekitarnya. Berikut beberapa faktor mengapa anak bersifat egois :
• Perhatian yang berlebihan.
Pemujaan kepada anak secara berlebihan membuat orang tua memanjakan anak dengan cara memenuhi segala keinginannya. Sehingga anak terbiasa mendapatkan apapun tanpa usaha dan perjuangan terlebih dahulu. Anak juga tidak terbiasa mengembangkan rasa toleransi dan sabar kepada orang lain. Anak tidak diajari untuk menunda kepuasan atau mendapatkan sesuatu sebagai hadiah dari usaha yang keras. Kemudahan mendapatkan sesuatu tanpa perlu usaha membuat anak mengambil kesimpulan bahwa ia bisa mendapatkan apapun yang dia inginkan dengan mudah saat itu juga.
• Perlindungan yang berlebihan.
Dalam menunjukkan rasa sayang kepada anak, seringkali orang tua memberi perlindungan yang berlebih dari berbagai macam kegagalan dan kesalahan. Rasa kekhawatiran yang mendalam juga membuat orangtua menghindarkan anak mereka dari pekerjaan-pekerjaan yang sebenarnya bisa dilakukan anak seusianya. Karena khawatir baju anak kotor, orang tua menyuruh pembantu untuk selalu menyuapi makan. Karena khawatir diganggu teman di taman, orang tua menyuruh pengasuh untuk selalu berada di dekat sang anak dan siap melayani. Maka anak akan terbiasa menyuruh-nyuruh orang seperti yang telah dicontohkan orang tuanya, bahkan untuk pekerjaan-pekerjaan sederhana yang sebenarnya bisa dia lakukan.
• Anak yang mempunyai kebutuhan-kebutuhan khusus (misalnya anak yang sering sakit-sakitan), sering kali mendapatkan perhatian khusus. Jika tidak hati-hati anak seperti ini bisa tumbuh menjadi anak yang egois, karena dia menganggap semua harus dipusatkan pada dia. Itulah sebabnya salah satu ciri juga anak-anak yang egois adalah dia menganggap diri sebagai kasus khusus, artinya keinginannya harus didahulukan sebab dia merupakan kasus perkecualian.
E. Karakteristik yang Dimiliki Orang Egois
  1. Keras kepala
Orang yang egois biasanya mau menang sendiri dan tidak mau mendengarkan pendapat orang lain. Karena bagi dia, hanya pendapatnya yang paling benar dan harus diikuti sama orang lain. Terkadang saking keras kepalanya, meskipun sudah terbukti pendapatnya salah, orang egoisn tetap tidak mau mengakuinya.
  1. Mudah Emosi
Orang yang punya sifat egois mudah sekali naik darah, terutama saat keinginannya tidak bisa tercapai. Bahkan orang egois bisa marah besar hanya gara-gara hal sepele seperti tidak diperhatikan saat dia lagi bicara atau melakukan sesuatu.
  1. Pemberontak
Umumnya orang yang memiliki sifat egois itu susah sekali diatur sama orang lain. Dan saat punya kemauan yang besar, dia tidak akan segan-segan untuk melanggar semua peraturan yang ada demi mencapai tujuannya.
  1. Haus Perhatian
Sebagai orang yang over self centered, orang egois pasti ingin selalu diperhatikan sama otrang lain. Dan dia tidak cukup puas dengan perhatian yang biasa-biasa saja, dia ingin setiap saat semua orang hanya fokus melihat ke arah dirinya saja.Intinya orang yang egois adalah orang yang selalu mementingkan dirinya sendiri, selalu ingin dinomersatukan dan menganggap dirinya yang paling berharga. Tipe orang yang kelihatannya tidak peduli sama perasaan orang lain, asalkan keinginanya bisa terpenuhi. Makanya tudak heran kalau terkadang orang egois terlihat seperti kurang ”manusiawi” dalam memperlakukan orang lain.

Demikian sekilas tentang Egoisme-Makalah Psikologi. Semoga bermanfaat.


Oleh : Dian Pranata