Sabtu, 22 Oktober 2011
Pokok-pokok pikiran Anne Roe - Dian Pranata Blogspot.com
Teori karir Anne Roe
Teori Karir Anne Roe
POKOK-POKOK PIKIRAN TEORI KARIR ANNE ROE
Anne Row adalah seorang guru besar di University of Arizona. salah satu teori yang dihasilkan oleh Anne Row adalah tentang pilihan jabatan yang dapat dijabarkan sebagai berikut:
1. Teori Anne Roe didasarkan pada suatu usaha untuk menunjukkan suatu hubungan antara pilihan karir dengan perbedaan individu seperti perbedaan latar belakang, perbedaan phisik, perbedaan psikologis dan perbedaan pengalaman.
2. Roe adalah pengikut aliran Humanistik, walau memiliki perbedaan-perbedaan dengan aliran Humanistik. Aliran Humanistik menyatakan bahwa ada 8 kebutuhan yaitu:
a. Kebutuhan fisiologis
b. Kebutuhan rasa aman
c. Kebutuhan untuk memiliki dan mencintai
d. Kebutuhan untuk dianggap penting, respek, harga diri dan indipenden
e. Kebutuhan akan informasi
f. Kebutuhan untuk bisa memahami dan dipahami
g. Kebutunan untuk keindahan
h. Kebutuhan untuk aktualisasi diri.
Dalam teorinya, Roe lebih mementingkan adanya kebutuhan untuk bisa dianggap penting, respek, harga diri dan indipenden bagi seseorang untuk dapat mengaktualisasikan diri.
3. Roe mengelompokkan 8 jenis pekerjaan sebagai berikut:
a. Services: Jenis pekerjaan ini mengutamakan layanan kepada orang lain. Pelayanan yang dimaksud adalah perhatian terhadap kebutuhan dan kesejahteraan orang lain. Pekerjaan ini antara lain adalah pekerja sosial, konselor, layanan-layanan konsultasi dan lain sebagainya.
b. Bussiness Contact: Jenis pekerjaan ini berhubungan dengan kegiatan tatap muka antara dua orang atau lebih yang membicarakan keuntungan, investasi, real estate. Hubungan antara dua orang sangat dibutuhkan, tetapi sebatas kegiatan persuasif dari pada pemberian bantuan
POKOK-POKOK PIKIRAN TEORI KARIR ANNE ROE
Anne Row adalah seorang guru besar di University of Arizona. salah satu teori yang dihasilkan oleh Anne Row adalah tentang pilihan jabatan yang dapat dijabarkan sebagai berikut:
1. Teori Anne Roe didasarkan pada suatu usaha untuk menunjukkan suatu hubungan antara pilihan karir dengan perbedaan individu seperti perbedaan latar belakang, perbedaan phisik, perbedaan psikologis dan perbedaan pengalaman.
2. Roe adalah pengikut aliran Humanistik, walau memiliki perbedaan-perbedaan dengan aliran Humanistik. Aliran Humanistik menyatakan bahwa ada 8 kebutuhan yaitu:
a. Kebutuhan fisiologis
b. Kebutuhan rasa aman
c. Kebutuhan untuk memiliki dan mencintai
d. Kebutuhan untuk dianggap penting, respek, harga diri dan indipenden
e. Kebutuhan akan informasi
f. Kebutuhan untuk bisa memahami dan dipahami
g. Kebutunan untuk keindahan
h. Kebutuhan untuk aktualisasi diri.
Dalam teorinya, Roe lebih mementingkan adanya kebutuhan untuk bisa dianggap penting, respek, harga diri dan indipenden bagi seseorang untuk dapat mengaktualisasikan diri.
3. Roe mengelompokkan 8 jenis pekerjaan sebagai berikut:
a. Services: Jenis pekerjaan ini mengutamakan layanan kepada orang lain. Pelayanan yang dimaksud adalah perhatian terhadap kebutuhan dan kesejahteraan orang lain. Pekerjaan ini antara lain adalah pekerja sosial, konselor, layanan-layanan konsultasi dan lain sebagainya.
b. Bussiness Contact: Jenis pekerjaan ini berhubungan dengan kegiatan tatap muka antara dua orang atau lebih yang membicarakan keuntungan, investasi, real estate. Hubungan antara dua orang sangat dibutuhkan, tetapi sebatas kegiatan persuasif dari pada pemberian bantuan
c. Organization: Jenis pekerjaan ini berbubungan erat dengan kegiatan manajerial baik di sebuah perusahaan atau lembaga-lembaga baik pemerintahan atau swasta. Jenis pekerjaan ini menutamakan efisiensi dan produktivitas sebuah lembaga, sehingga di dalamnya terdapat hubungan interpersonal yang sangat formal.
d. Technology: Jenis pekerjaan ini berkaitan erat dengan produksi barang, perawatan dan transportasi untuk mendukung layanan jasa. Hubungan interpersonal sangat kurang, karena mereka cenderung berhubungan dengan alat-alat.
e. Outdoor: Jenis pekerjaan ini berhubungan dengan kegiatan-kegiatan seperti penyemaian dan penanaman tanaman-tanama hutan, usaha-usaha pengeboran bahan mineral dan gas bumi, usaha-usaha pengumpulan hasil hutan, kegiatan yang berkaitan dengan kelautan, usaha penangkaran binatan liar dan lain sebagainya. Jenis pekerjaan ini menunjukkan adanya hubungan antar manusia yang minim.
f. Sience: Jenis pekerjaan ini berhubungan dengan pengembangan sebuah teori ilmu pengetahuan dan bagaimana mengaplikasikan teori ilmu pengetahuan. Hubungan antar manusia dilihat dari jenis ilmu pengetahuan apa yang sedang dikembangkan. Jika berhubungan dengan ilmu alam, maka relasi antar manusia semakin sedikit, tetapi jika berhubungan dengan ilmu sosial, maka relasi antar manusia dapat menjadi besar.
g. General Culture: Jenis pekerjaan ini lebih mengutamakan kegiatan melestarikan dan mentransmisikan budaya. Jenis pekerjaan ini memiliki perhatian terhadap aktivitas manusia sebagai suatu kelompok daripada individu. Pekerjaan ini antara lain di bidang pendidikan, jurnalistik dan bidang bahasa. Seringkali kelompok guru dikelompokkan dalam jenis pekerjaan ini.
h. Arts and Entertainment: Jenis pekerjaan ini membutuhkan orang-orang yang memiliki keterampilan dalam bidang seni dan hiburan.
4. Untuk tiap jenis kelompok pekerjaan tersebut di atas, terdiri dari 6 level atau tingkatan:
a. Proffesional and managerial 1: Kelompok ini memiliki ciri Independen dan tanggungjawab. Hal ini menunjukkan bahwa mereka adalah inovator, kreator dan berposisi sebagai pimpinan dalam hal manajerial dan administratif yang memiliki tanggungjawab terhadap bidang-bidang yang digelutinya. Kriteria mereka adalah: (1) memiliki independensi yang kuat dalam berbagai bidang, (2) memiliki kemampuan untuk membuat kebijakan, (3) memiliki pendidikan yang memadai (S1 atau yang sederajat).
b. Proffesional and managerial 2: Kelompok kedua ini memiliki perbedaan yang signifikan dengan kelompok pertama di atas. Perbedaan yang mecolok adalah: (1) mereka memiliki kemampuan untuk menginterpretasi kebijakan, (2) memiliki kemampuan untuk melaksanakan kebijakan dan (3) memiliki pendidikan setingkat diploma.
c. Semiprofessional and smal business: Kelompok ini memiliki kriteria sebagai berikut; (1) memiliki tanggungjawab yang rendah terhadap orang lain, (2) mampu melaksanakan kebijakan untuk dirinya sendiri dan (3) memiliki pendidikan setingkat sekolah menengah.
d. Skilled: Kelompok ini memerlukan magang atau pelatihan untuk dapat mengerjakan suatu kegiatan tertentu.
e. Semiskilled: Kelompok ini merupakan kelompok manusia yang melaksanakan pekerjaan dengan tidak memiliki otonomi sendiri, serta ijin untuk melaksanakan tindakan didasarkan pada perintah.
f. Unskilled: Kelompok ini melaksanakan tugas dengan tidak didasarkan pada keterampilan tertentu. Kelompok ini tidak membutuhkan keterampilan atau pendidikan tertentu dalam melaksanakan tugasnya.
5. Roe memberikan jenis-jenis pola asuh orang tua sebagai berikut: (a) konsentrasi emosi berpusat pada anak yang ditunjukkan dengan perilaku overprotective atau overdemanding, (b) penolakan terhadap anak dengan perilaku emotional rejection dan neglect,dan (c) penerimaan terhadap anak dengan perilaku mencintai dan menerima anak apa adanya.
6. Beberapa penelitian Roe menunjukkan adanya relasi antara pola asuh orang tua dengan orientasi pilihan karir siswa.
7. Diagram Hipotesis yang menunjukkan relasi antara pilihan pekerjaan dan hubungan (pola asuh) orang tua:
Label:
Anne Roe,
Bimbingan dan Konseling,
Bimbingan Komprehensif,
Egoisme,
Emosi,
Emosional anak,
Konseling Karir,
Kontrol diri,
Motivasi,
Non-person Oriented. Psikologi,
Okupasi,
Ontologi,
Pendidikan,
Perkembangan,
Psikologi,
Teori
Teori Karir Anne Roe- Bimbingan Konseling Karir
Mengenal Teori Anne Roe
Pada
tahun 1965 Anne Roe menerima penghargaan dari American Psychological
Association dalam acara Richardson Kreativitas Award. Anne menerima penghargaan
"the
most outstanding contribution during lite preceding year or recent years toward
improving creative and innovative talents or developing or utilizing sucli
talents." Yaitu sebagai kontribusi yang paling beredar pada
tahun sebelumnya atau tahun-tahun terakhir terhadap meningkatkan bakat kreatif
dan inovatif atau mengembangkan atau memanfaatkan bakat suci.
Anne Roe menerima pendidikan di Denver Sekolah Umum
untuk mendapatkan gelar BA dan MA di University of Denver Anne Dilatih sebagai
seorang psikolog klinis dan memegang sejumlah
penelitian, hingga 1947 ketika ia
menjadi Direktur Studi Ilmuwan disponsori oleh Institut Kesehatan Mental
Nasional. Pada tahun 1952 ia mengadakan Fellowship Pada tahun 1957 ia menjadi
dosen psikologi di New York University, tapi pindah ke Cambridge pada tahun
1959, di mana ia diselenggarakan berturut-turut di Harvard University tulisan
dosen di bidang pendidikan dan asosiasi penelitian; Direktur, Pusat Penelitian
Karir.
Namun Anne Roe kembali bergerak ke arah barat
menjadi dosen psikologi di University of Arizona. Kecuali untuk beberapa tahun
dengan Administrasi Veteran sebagai kepala unit pelatihan,Anne telah terlibat
langsung dalam penelitian. Hal ini telah mencakup topik-topik fungsi intelektual pada orang dewasa normal,
dan gangguan mental, perilaku bayi baru lahir anak asuh dari latar belakang
yang berbeda; efek dari alkohol; kepribadian dari para ilmuwan dan seniman,
psikologi dari pekerjaan, perilaku dan evolusi , dan psikologi kreativitas.
A.
Latar
Belakang Munculnya Teori
Hubungan dini di dalam keluarga dan pengaruhnya
kemudian terhadap arah karir merupakan fokus utama karya Anne Roe (1956).
Analisis tentang perbedaan dalam kepribadian, aptitude, intelligensi, dan latar
belakang yang mungkin terkait dengan pilihan karir merupakan tujuan utama
penelitiannya. Dia meneliti sejumlah ilmuwan terkemuka dalam bidang fisika,
biologi, dan sosial untuk menentukan apakah arah vokasional itu erat
hubungannya dengan perkembangan dini kepribadian.
Roe (1956) menekankan bahwa pengalaman pada awal
masa kanak-kanak memainkan peranan penting dalam pencapaian kepuasan dalam
bidang yang dipilih seseorang. Penelitiannya menginvestigasi bagaimana pola
asuh orang tua (parental styles) mempengaruhi hierarki kebutuhan anak, dan
bagaimana hubungan antara kebutuhan ini dengan gaya hidup masa dewasanya. Dalam
mengembangkan teorinya, dia menggunakan teori Maslow tentang Hierarchy of Needs sebagai dasar.
Struktur kebutuhan seorang individu
menurut Roe, sangat dipengaruhi oleh frustasi dan kepuasan pada awal
masa kanak-kanak. Misalnya, individu yang menginginkan pekerjaan yang menuntut
kontak dengan orang (person oriented) adalah mereka yang didorong oleh
kebutuhan yang kuat untuk memperoleh kasih sayang dan mendapatkan pengakuan
sebagai anggota kelompok. Mereka yang memilih jenis pekerjaan non-person
oriented akan memenuhi kebutuhan akan rasa aman pada tingkat yang lebih rendah.
Roe berhipotesis bahwa individu yang senang bekerja dengan orang adalah mereka
yang dibesarkan oleh orang tua yang penuh kehangatan dan penerimaan, dan mereka
yang menghindari kontak dengan orang adalah yang dibesarkan oleh orang tua yang
dingin atau menolak kehadiran anaknya.
Roe (1956) mengklasifikasikan okupasi ke dalam dua
kategori utama: person oriented dan nonperson oriented. Dia berpendapat bahwa
pemilihan sebuah kategori okupasi terutama didasarkan atas struktur kebutuhan
individu tetapi tingkat pencapaian dalam suatu kategori lebih tergantung pada
tingkat kemampuan dan latar belakang sosio-ekonomi individu. Iklim hubungan
antara anak dan orang tua merupakan kekuatan utama yang membangkitkan
kebutuhan, minat, dan sikap yang kemudian tercermin dalam pemilihan pekerjaan.
Roe memodifikasi teorinya setelah beberapa studi
menyangkal pendiriannya bahwa perbedaan interaksi orang tua-anak menghasilkan
perbedaan dalam pemilihan pekerjaan. Kini dia mengambil posisi bahwa orientasi
dini seorang individu terkait dengan keputusan utama yang diambilnya di
kemudian hari terutama dalam pemilihan okupasi tetapi variable-variabel lain
yang tidak diperhitungkan dalam teorinya pun merupakan faktor-faktor yang
penting.
B. Inti
Teori
Pada dasarnya teori Anne Roe
menekankan unsur perkembangan dalam pilihan karir yang di pengaruhi pola asuh
orang tua terhadap anaknya. Dalam perkembangan jabatan Anne Roe menekankan
dampak dari keseluruhan pengalaman anak kecil dalam lingkungan keluarga inti.
Gaya interaksi orang tua dan anak, serta pengaruh pola pendidikan keluarga
menjadi kebutuhan perkembangan anak yang berhubungan dengan kebutuhan pribadi
dan gaya hidup dewasa nanti.
On the
basis of her intensive investigations of scientities’ early childhoods, Anne
Roe (1957) created a theory that emphasizes need satisfaction in career chois.
Persons from child-centered, rejecting, for accepting humes are predisposet to
compensate for ( or duplicate) in their jobs experiences that they missed ( or
enjoyt) in their childhood homes.
Dari pendapat Roe di atas timbulah
tiga kategori pendidikan yang di terapkan oleh orang tua, diantaranya :
- Menjauhi anak
Perilaku
orang tua yang menjauhi anak cenderung akan bersifat ;
a.
Menolak : dingin, bermusuhan,
menunjukkan kekurangan-kekurangan dan
mengabaikan preferensi-preferensi dan
opini-opini anak.
b.
Mengabaikan: memberikan
perawatan fisik minimum tidak memberikan afeksi, dingin tetapi tidak menghina.
- Konsentrasi Emosional pada Anak
Pemusatan perhatian pada anak memiliki dua
kategori,yaitu :
a.
Overprotecting. Memberikan
perlindungan berlebih-lebihan (cenderung hangat),terlalu baik, penuh kasih
sayang, membolehkan sedikit kebebasan pribadi, melindungi dari yang
menyakitkan.
b.
Overdemanding. Terlalu
menuntut (cenderung dingin), menentukan standar-standar tinggi, mendesak untuk
memperoleh prestasi akademik yang tinggi, dalam bentuknya yang ekstrim
cenderung menolak.
- Penerimaan terhadap Anak
Pola
penerimaan terhadap anak di bagi menjadi dua, yaitu ;
a.
Santai (casual): sedikit kasih sayang, responsif kalau pikiran tidak kacau,
tidak ambil pusing tentang anak, membuat
beberapa peraturan dan tidak
melaksanakannya.
b.
Penuh kasih (loving): memberikan perhatian hangat dan
penuh kasih sayang, membantu dengan rancangan-rancangan, menggunakan penalaran
dan bukan hukuman, mendorong independensi.
Dari subdivisi kategori
emosional yang ada di dalam rumah menurut Roe, Kategori penuh kasih, overprotective dan overdemanding akan cenderung menghasilkan seseorang yang
kejuruannya beroriantasi pada kontak dengan orang lain (Person Oriented). Sedangkan kategori santai, menolak dan
mengabaikan cenderung menghasilkan seseorang yang kejuruannya beroriantasi pada
benda – benda (Non_Person Oriented).
Selain
itu Anne Roe juga menerapkan klasifikasi hirarkis mengenai tahap – tahap
kebutuhan (needs) manusia yang di
kemukakan oleh Maslow. Pendapat Maslow, kebutuhan – kebutuhan pada tahap lebih
tinggi tidak akan di rasakan dan di hayati kalau kebutuhan pada tahap di
bawahnya tidak terpenuhi secara memuaskan. Anne Roe dalam
mengembangkan teori Maslow yang diklasifikasikan sebagai berikut :
5.
Aktualisasi diri
4. Kebutuhan penghargaan diri
3.
Kebutuhan kasih sayang dan kebersamaan
2. Kebutuhan rasa aman (psikis & fisik)
1.
Kebutuhan fisiologis
Dengan demikian struktur kebutuhan seorang individu, menurut Roe,
sangat dipengaruhi oleh frustasi dan kepuasan pada awal masa kanak-kanak.
Misalnya, individu yang menginginkan pekerjaan yang menuntut kontak dengan
orang adalah mereka yang didorong oleh kebutuhan yang kuat untuk memperoleh
kasih sayang dan mendapatkan pengakuan sebagai anggota kelompok. Mereka yang
memilih jenis pekerjaan non-orang akan memenuhi kebutuhan akan rasa aman pada
tingkat yang lebih rendah. Roe berhipotesis bahwa individu yang senang bekerja
dengan orang adalah mereka yang dibesarkan oleh orang tua yang penuh kehangatan
dan penerimaan, dan mereka yang menghindari kontak dengan orang adalah yang
dibesarkan oleh orang tua yang dingin dan/atau menolak kehadiran anaknya.
Roe menggolongkan seluruh jabatan atas dua
kategori dasar, yaitu :
1.
Person Oriented, jabatan yang berorientasi pada kontak dengan orang lain. Misalnya
orang – orang yang suka bekerja bersama dengan orang lain, di anggap cenderung
demikian karena mereka menghayati kebutuhan yang kuat untuk di terima baik oleh
orang lain. Semua orang ini di didik oleh orang tua yang menunjukan sikap
menerima dan menyayangi.
Contohnya : jasa, bisnis,
menejemen, pelayanan sosial, dan aktivitas dibidang cultural.
2.
Non- Person Oriented, yang berorientasi pada benda-benda. Misalnya
orang- orang yang lebih suka bekerja dengan menangani barang atau benda tanpa
mencari kontak dengan individu di sekitarnya itu di anggap berkecenderungan
demikian karena mereka menghayati kebutuhan yang kuat untuk merasa aman dan
terlindung dari bahaya.
Contohnya : teknologi,
pekerjaan di lapangan seperti pertanian dan pertambangan dan penelitian ilmiah.
Berkaitan dengan hal tersebut di atas Anne Roe
mengkategorikan klasifikasi pekerjaan seperti table yang di bawah ini.
TABEL I
KLASIFIKASI JABATAN MENURUT ANNE ROE
Kelompok
|
Tingkatan
|
|
|
Orang/seseorang
yang memiliki kecenderungan lebih banyak berorientasi orang, kebanyakan memilih
kelompok I, II, VII ,dan VIII, yaitu : kelompok pemberian layanan (service),
usaha atau dagang (business contract), budaya (general cultural), serta seni
dan pertunjukan (art and entertainment).
Sedangkan
orang yang memiliki kecenderungan lebih banyak berorientasi kepada bukan orang
atau kebendaan kebanyakan memilih kelompok IV, V, dan VI yaitu : kelompok
teknologi (technology), pekerjaan lapangan (out door), dan pengetahuan
(science).
Dalam
bukunya The Psichology Of Occupations(1956),
Menurut Roe kategori jabatan di tentukan oleh kemampuan seseorang dan latar
belakang sosial-kulturalnya. Menegaskan pula bahwa rata – rata anak yang
berusia 18 tahun kepentingannya akan cenderung mengkristal pada populasi umum. Berlainan
dengan karya tulisnya yang terbit (1972) Roe meninggalkan pandangannya bahwa
corak pergaulan orang tua dan anak yang berbeda - beda akan menghasilkan
pilihan jabatan yang berlainan. Dalam hal ini Samuel H. Osipow (1973)
berpendapat bahwa konselor sekolah dapat membantu orang muda yang belum
mengenal dirinya sendiri mengenai pengaruh kebutuhan pokok yang melandasi
motifasinya dalam memperjuangkan suatu gaya hidup (life style). Dengan demikian konselor sebaiknya meningkatkan tahap
kebutuhan klien karena jaminan ekonomis saja tidak membuat orang dewasa selalu
merasa bahagia.
C. Keunggulan
dan Kelemahan Teori
1.
Keunggulan
ü Dengan
adanya teori Roe ini dapat mempermudah mengklasifikasikan jabatan apa yang
sesuai dengan potensi individu tersebut berdasarkan pola asuh orang tua,
interaksi, serta pemenuhan kebutuhan.
ü Dengan
melihat cultural seseorang maka dalam
penyesuaian diri di lingkungan pekerjaan akan lebih mudah untuk mempertahankan
jabatannya.
ü Memudahkan
konselor dalam memberikan layanan karir kepada klien dengan melihat latar
belakang klien di masa kecil.
ü Memudahkan
konselor dalam memberikan layanan karir pada kliennya, karena menurut roe karir
anak di pengaruhi oleh pola asuh orang tua.
2.
Kelemahan
ü Dalam
menentukan jabatan karir tidak menggunakan nilai studi sebagai acuannya
sehingga pendidikan kurang di minati.
ü Karena
hanya faktor kemampuan dan cultural saja yang di tekankan di dalam pencapaian
suatu karir maka individu hanya menggunakan tenaga untuk mencapai aktualisasi
diri.
ü Teori
Anne Roe tidak memandang bakat , minat, dan motivasi yang dimiliki anak.
ü Menjadi
beban psikis pada diri anak, apabila anak tidak mencapai kebutuhan yang
diinginkan orang tua secara maksimal
Demikian uraian singkat tentang Teori Konseling Karir dari Anne Roe. Semoga bermanfaat.
Label:
Anne Roe,
Bimbingan dan Konseling,
Bimbingan Komprehensif,
Emosi,
Emosional anak,
Jabtan,
Konseling Karir,
Non-person Oriented. Psikologi,
Okupasi,
Pendidikan,
Perkembangan,
Person Oriented,
Teori
EGOISME - Makalah Psikologi
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Beberapa
ahli psikologi perkembangan mengatakan, masa paling penting dalam membentuk
kepribadian seseorang adalah antara 0-5 tahun. Jadi, tidak dalam kandungan
maupun setelah masa kanak-kanaknya telah lewat. Selama masa kanak-kanak itulah
dasar-dasar kepribadian ditanamkan. Anak yang dilahirkan dengan sejumlah naluri
perlu dikembangkan agar dapat hidup dengan baik dan berguna dalam
masyarakatnya. Dengan kasih sayang, perhatian, belaian, bercakap-cakap, dan
bermain dengan si kecil, secara perlahan-lahan. Selain itu, anak juga perlu
diperkenalkan pada nilai-nilai luhur dan kebiasaan yang baik. Orangtua dan guru
perlu melarang hal-hal yang tidak baik, bahkan kalau perlu menghukum jika
larangan sudah tidak mempan lagi, sesuai umur anak, dan membimbing anak ke arah
yang baik. Anak perlu dilatih untuk menghargai orang lain dan bersikap sopan
santun, sambil menerapkan moral yang tinggi di rumah. Seperti jangan asal janji
bila tidak bisa memenuhinya, jika kakaknya sedang tidur, ajak anak main tanpa
teriak-teriak atau kecilkanlah suara televisi, sambil menyebutkan alasannya
(belajar menghargai orang lain dan respek pada kebutuhannya). Jika orangtua
terlalu sibuk, malas, terlalu mengikuti kemauan anak, atau saling bertentangan
dalam mendidik anak, anak dapat kehilangan arah, jadi cenderung bersikap
"semau gue", alias jadi egois atau mau menang sendiri Apakah sikap
egois bisa diperbaiki? Jika masih kecil lebih mudah diperbaiki, tetapi, kalau
sudah remaja, apalagi dewasa, jauh lebih sukar. Seorang psikolog dan ahli
pendidik James Dobson berkata dalam bukunya Dare to Dicipline: "Psikolog
yang menghadapi remaja yang tidak mempunyai respek sama sekali terhadap
orangtuanya, sebab orangtuanya terlalu memanjakan dia sampai membiarkan anak terus
"menang", sampai tidak terkendali lagi, adalah bagai dokter yang
berhadapan dengan pasien penderita kanker ganas." Sukar diperbaiki lagi.
Untuk itulah dibutuhkan suatu penanganan secara dini untuk mengatasi sifat
egois pada anak.
B. Tujuan
Kegiatan
bimbingan dan konseling untuk anak ini memiliki dua tujuan utama. Pertama
adalah sebagai sarana pembelajaran dalam melakukan bimbingan dan konseling
khususnya bagi penulis yang tengah mempelajari mata kuliah Bimbingan Konseling
Untuk Anak Usia Dini. Yang kedua, untuk membantu anak yang menjadi sasaran
bimbingan, yaitu dengan memberikan treatmen yang sesuai dengan permasalahan
yang dialaminya.
BAB II
LANDASAN TEORITIS
A.
Pengertian
Anak Egois
Secara
alamiah sifat egois timbul pada anak usia 2 tahun karena pada usia tersebut
mereka mempunyai karakter egosentris. Mereka melihat segala sesuatu dari sudut
pandangnya dan belum mampu melihat dari kaca mata orang lain. Sehingga
seringkali jika mereka menginginkan sesuatu hal, harus dipenuhi saat itu juga.
Mereka tidak memperdulikan apakah keinginannya merugikan orang lain atau tidak.
Mereka juga tidak peduli jika orang lain menangis akibat perbuatannya mengambil
secara paksa dari orang lain. Yang penting apa yang dia inginkan dan apa yang
dia suka diperolehnya. Bahkan untuk memuluskan keinginannya, kadang dia
mengeluarkan senjata ampuh dengan menangis, berteriak bahkan berguling- guling
di lantai. Namun sebaliknya, jika dia mempunyai sesuatu ataupun kesenangan,
maka dia enggan berbagi. Dia ingin menikmati sendiri barang yang dimilikinya.
Bahkan milik orang lain pun kadang diakui sebagai miliknya jika dia
menginginkannya. Dia tidak ingin orang lain mengganggu kesenangannya. Anak
egois maunya menang sendiri.
1.
Michele
Borba, Ed.D., dalam bukunya Don’t Give Me that Attitude!:
24 Selfish, Rude Behaviors and How to Stop Them menjelaskan bahwa anak-anak yang
selfish alias egois adalah anak-anak yang tidak senang menjadi bagian dari
sekitarnya. Mereka selalu menginginkan segala sesuatu sesuai dengan cara
mereka, meletakkan kebutuhan dan urusan mereka di atas yang lainnya, dan jarang
sekali mempertimbangkan perasaan orang lain. Itulah sebabnya, mereka berusaha
membuat orangtuanya percaya bahwa perasaan mereka lebih penting dibandingkan
perasaan dan kebutuhan orang lain. Sudah tentu anak egois ini perlu disadarkan
dan diperbaiki sikapnya. Anak perlu diingatkan bahwa di samping dirinya, ada
juga anak-anak lain yang sama-sama kita cintai. Ia perlu didorong agar
mengembangkan sikap-sikap baik seperti tidak mementingkan diri sendiri, pemurah,
dan penuh perhatian.
2.
Menurut
Heribertus Gunawan, anak yang egois hanya peduli dengan
dirinya sendiri, hanya berfokus pada kesejahteraan dirinya sendiri tanpa peduli
orang lain. Anak usia prasekolah umumnya masih egosentris karena dunianya masih
terpusat pada dirinya sendiri, karena merasa dirinya dan dunia sekitarnya
adalah satu.
3.
Dra.
Risa Kolopaking, psikolog dari RSIA Hermina Bekasi
menjelaskan bahwa anak balita dikatakan memiliki sikap egois yang tinggi karena
setiap kegiatan yang dilakukan masih terpusat pada dirinya sendiri. Sifat
individunya masih sangat dominan. Ini terlihat dari cara dia yang selalu
mendahulukan dirinya. Begitu juga kalau ingin sesuatu dan tak dituruti, anak
akan menangis. Itu yang membuatnya disebut egois. Padahal, anak sendiri
sebenarnya masih belum paham, perbuatannya disukai atau tidak oleh orang lain.
B.
Jenis-jenis Egoisme
1. Egoisme
Psikologis
1.1. Pendapat
pokok faham egoisme psikologis:
Egoisme psikologis pada pokoknya berpendapat bahwa kodrat manusia dalam kenyataannya
secara psikologis cenderung memilih tindakan yang menguntungkan bagi dirinya
sendiri. Menurut faham ini, apa yang disebut sebagai sikap altruis (misalnya, sikap mau mencintai dan berkorban diri demi kepentingan orang lain)
hanyalah mitos belaka. Kalau dalam praktek kehidupan sehari-hari nampaknya, hal
itu memang hanya nampaknya saja demikian. Sebab apabila orang mau meneliti apa
motivasi sesungguhnya yang mendorong dilakukan tindakan itu, akan menjadi nyata
bahwa tindakan altruis itu tidak lain hanyalah bentuk terselubung dari cinta
diri.
1.2. Argumentasi untuk menolak
kemungkinan adanya sikap altruis sungguh-sungguh:
1.2.1. Setiap
tindakan yang dilakukan dengan bebas pada dasarnya muncul dari pilihan
pelakunya untuk melakukan sesuatu yang paling ia ingini untuk dilakukan.
Misalnya seorang yang menyumbangkan uangnya ke proyek sosial pengumpulan dana
bagi para korban gempa bumi tidak dapat dikatakan bahwa ia bersikap altruis,
sedangkan yang memakainya untuk menonton film bersikap egois. Karena pada
keduanya, si pelaku hanyalah melakukan apa yang masing-masing memang paling
mereka ingin lakukan. Yang satu justru merasa senang dan bahagia kalau dia
dapat menyumbangkan uangnya pada proyek sosial, sedangkan yang lain merasa
senang dan bahagia kalau dapat melakasanakan apa yang ia inginkan, dan dalam
hal ini yang ia inginkan adalah menonton film. Jadi kedua-duanya sebenarnya mencari
apa yang menguntungkan untuk dirinya sendiri.
1.2.2. Suatu
tindakan hanya nampaknya saja tidak bersifat egois atau altruis. Kalau motivasi
sesungguhnya dapat diketahui, maka akan menjadi nyata bahwa tindakan itu
sebenarnya didasari oleh cinta diri. Misalnya orang yang menyumbangkan uangnya
ke proyek sosial tadi, setelah melakukan apa yang ingin dia lakukan, ia merasa
senang dan puas dan kemudian dapat tidur dengan pulas di waktu malam karena
merasa telah menunaikan tugasnya dengan baik. Sedangkan kalau ia tidak
menyumbangkan uangnya pada proyek sosial, maka hatinuraninya terus merasa
terganggu. Jadi dalam melakukan pemberian dana itu sebenarnya ia mempunyai
pamrih pribadi.
1.2.3. Untuk
menjelaskan pendapat di atas, Thomas Hobbes (1588-1679) dan kemudian
dikembangkan oleh Moritz Schlick (1881-1936) mengajukan pendapat bahwa untuk
menilai suatu tindakan, orang perlu menemukan motivasi sesungguhnya dari
tindakan tersebut, dan untuk ini orang perlu tidak hanya berhenti pada
penafsiran yang dangkal. Menyebut suatu tindakan sebagai ungkapan sikap altruis
menurut dia merupakan suatu penafsiran yang terlalu dangkal terhadap kejadian
yang sesungguhnya.Kalau orang mau mengakui kenyataan, motivasi yang
sesungguhnya selalu mengandung unsur cinta diri. Sebagai contoh misalnya apa
yang disebut cintakasih. Motivasi yang sesungguhnya di balik tindakan
menolong orang lain adalah mau menunjukkan bahwa dirinya lebih baik dari yang
lain, lebih mampu, lebih unggul dari yang ditolong. Dalam tindakan berbelaskasih,
alasan yang sebenarnya mengapa kita mempunyai rasa belaskasih terhadap sesama
manusia yang menderita adalah karena kita sendiri berharap agar kalau kita
berada dalam situsai macam itu orang lain pun berbelaskasih atau mau menolong
kita. Pada orang yang berbelaskasih ada kekhawatiran jangan-jangan penderitaan
atau kemalangan yang sama nanti suatu ketika juga menimpa dirinya.
1.3. Tanggapan kritis:
Seperti pernah
secara cukup jeli dikemukakan oleh James Rachels, argumentasi yang mendasari
faham egoisme psikologis sepintas nampak sulit dibantah, namun argumentasinya
sebenarnya muncul karena beberapa kerancuan pengertian.Kalau kerancuan tersebut
dapat diurai, menjadi jelas bahwa argumentasi mereka yang menganut egoisme
psikologis tidak dapat dipertahankan.Sekurang-kurangnya terkandung tiga jenis
kerancuan pengertian dalam argumentasi yang dikemukakan oleh para penganut dan
penganjur egoisme psikologis.Kerancuan yang pertama adalah kerancuan pengertian
antara egoisme dalam arti mendahulukan kepentingan diri sendiri (selfishness)
dan egoisme dalam arti berguna untuk diri sendiri (self-interest).Keduanya
tidak sama. Kalau saya mematuhi hukum yang berlaku atau bekerja keras di kantor,
ini tidak dapat dikatakan bahwa saya egois dalam arti hanya mendahulukan
kepentingan diri saya sendiri.Perbuatan itu memang pada dasarnya berguna (atau
mungkin lebih tepat bernilai) untuk diri saya sendiri.Arti yang kedua
ini sebenarnya tidak tepat untuk disebut egois. Dalam pengertian egois
sebenarnya selalu terkandung penilaian negatif bahwa si pelaku tidak
mempedulikan kepentingan orang lain dan hanya mementingkan dirinya sendiri
melulu.
Kerancuan yang
kedua adalah kerancuan antara pengertian perilaku yang mengejar kepentingan
diri (self-interested behavior) dan perilaku yang disukai, karena memberi
nikmat (the pursuit of pleasure).Dalam kehidupan sehari-hari banyak hal
seringkali kita lakukan memang karena kita menyukainya.Tetapi kenyataan bahwa
kita melakukan suatu perbuatan karena kita menyukainya, atau bahwa perbuatan
itu membawa kenikmatan tersendiri bagi kita, tidak dengan sendirinya dapat
dikatakan bahwa perbuatan kita itu muncul berdasarkan motif egoisme, dalam arti
hanya mengejar kepentingan diri sendiri.Kalau ada orangyang suka menghisap
rokok kretek dalam-dalam setelah makan siang, karena hal itu terasa nikmat
untuknya, kita tidak dapat mengatakan bahwa perbuatan orang itu dengan
sendirinya bermotifkan egoisme.Baru kalau dalam menghisap rokok tersebut ia
sama sekali tidak peduli akan keluhan tetangganya yang sedang sakit flu, maka
perbuatan itu dapat dikatakan sebagai perbuatan yang egois.
Kerancuan yang
ketiga adalah kerancuan pengertian bahwa suatu perhatian akan kepentingan diri
sendiri selalu tidak dapat diselaraskan dengan kepentingan sejati dari orang
lain. Karena sudah jelas bahwa setiap orang (atau hampir setiap orang) selalu
memperhatikan apa yang menjadi kepentingannya, para penganut egoisme psikologis
menarik kesimpulan bahwa setiap orang itu egois dan tidak pernah secara
sungguh-sungguh memperhatikan kepentingan orang lain.Anggapan ini tentu saja
keliru. Pengejaran kepentingan diri sendiri tidak dengan sendirinya bertabrakan
dengan kepentingan orang lain. Memang tidak jarang terjadi bahwa timbul
tabrakan antara kepentingan diri kita sendiri dengan kepentingan orang lain.
Tetapi hal ini tidak selalu terjadi, dan kalau itu terjadi, tidak dengan
sendirinya pula bahwa kita mendahulukan kepentingan diri kita sendiri seraya
mengorbankan kepentingan orang lain. Kenyataan bahwa ada orang yang secara
tulus berkorban untuk orang lain, seperti seorang ibu bagi anaknya, seorang
gadis bagi pemuda idamannya, dsb., membuktikan bahwa dalam berbuat, orang pada
dasarnya secara psikologis tidak selalu didorong oleh egoisme.
Dalam usaha
untuk menemukan faktor pokok yang menentukan tindakan manusia, para penganut
egoisme psikologis melupakan bahwa motivasi tindakan manusia itu dapat bersifat
kompleks.Menyatakan bahwa semua tindakan manusia pada dasarnya didorong oleh
motivasi egois merupakan suatu penyederhanaan yang mengabaikan kompleksitas
tersebut.Pernyataan yang bersifat reduksionistik (terlalu menyederhanakan) itu
juga mengungkapkan sikap yang terlalu sinis terhadap perbuatan baik orang.
Dengan alasan menekankan kejujuran untuk mengakui apa yang sesungguh-nyamenjadi
motivasi seseorang untuk bertindak, lalu secara sinis terlalu cepat curiga akan
maksud baik orang lain.
2. Egoisme Etis
2.1. Pendapat pokok faham egoisme
etis:
Egoisme etis
adalah suatu faham etika normatif yang menyatakan bahwa setiap orang wajib
memilih tindakan yang paling menguntungkan bagi dirinya sendiri. Dengan kata
lain, menurut faham ini, tindakan yang baik dan dengan demikian wajib diambil
adalah tindakan yang menguntungkan bagi diri sendiri. Satu-satunya kewajiban
manusia adalah mengusahakan agar kepentingannya sendiri dapat terjamin. Ini
tidak berarti bahwa kepentingan orang lain harus senantiasa diabaikan. Karena,
bisa jadi demi pencapaian hasil yang paling menguntungkan untuk diri sendiri,
orang justru perlu mengindahkan kepentingan orang lain. Namun dalam hal ini
kenyataan bahwa tindakan itu membawa keuntungan atau kebaikan untuk orang lain
bukanlah hal yang membuat tindakan tersebut benar. Yang membuat tindakan itu
benar adalah fakta bahwa tindakan itu menunjang usaha untuk memperoleh apa yang
paling menguntungkan bagi dirinya.Faham ini juga tidak bermaksud menganjurkan
untuk mencari nikmat pribadi sepuas-puasnya, seperti halnya diajarkan oleh
faham Hedonisme. Justru dalam banyak hal faham Egoisme Etis melarang
pencarian nikmat pribadi, karena hal itu dalam jangka panjang justru tidak
menguntungkan. Yang dianjurkan oleh Egoisme Etis adalah agar setiap orang
melakukan apa yang sesungguhnya dalam jangka panjang akan menguntungkan untuk
dirinya (“A person ought to do what really
is to his or her own best advantage, over the long run.”) Egoisme Etis memang menganjurkan “selfishness”
tetapi bukan “foolishness”.
2.2. Argumen-argumen untuk
mendukung Egoisme Etis:
Argumen pertama
yang biasanya dipakai untuk mendukung Egoisme Etis adalah kenyataan bahwa kalau
kita mau mengusahakan hal-hal yang menguntungkan semua pihak, masing-masing
orang justru wajib memperhatikan kepentingannya sendiri. Karena yang paling
tahu tentang apa yang paling dibutuhkan oleh seseorang adalah orang itu
sendiri, dan bukan orang lain. Kalau kita cenderung mau mengurusi orang lain,
dapat terjadi bahwa kita justru tidak menguntungkan semua pihak.
Seperti
dinyatakan oleh Robert G. Olson dalam bukunya The Morality of Self-Interest
(1968), “The individual is most likely to contribute to social betterment by
rationally pursuing his own best long-range interests” (“Masing-masing
individu akan paling menyumbang pada perbaikan sosial [kalau masing-masing individu]
dengan secara rasional mengejar apa yang dalam jangka panjang menjadi
kepentingannya sendiri yang paling baik”). Masing-masing orang sendiri lah yang
paling tahu akan apa yang diinginkan dan dibutuhkannya. Kita tidak pernah tahu persis apa yang diinginkan dan dibutuhkan orang
lain. Kalau kita mencampuri urusan orang lain, campurtangan ini justru malah
hanya merusak kesejahteraannya, karena bersifat ofensif bagi kebebasannya untuk
menentukan diri. Mencampuri urusan orang lain dapat melanggar prinsip “privacy”
seseorang. Menjadikan orang lain sebagai objek atau sasaran perbuatan karitatif
kita, sama saja dengan merendahkan martabatnya. Dengan memperhatikan
kepentingan orang lain, kita dapat menciptakan situasi ketergantungan dan
kurang menghargai kemampuan serta harga diri orang yang ditolong.
Argumen yang kedua mendasarkan diri pada keunggulan Egoisme Etis
dibandingkan dengan Etika Altruis dalam menjunjung tinggi nilai hidup
masing-masing individu. Seperti dinyatakan oleh Ayn Rand (dalam bukunya The
Virtues of Selfishness), Egoisme Etis merupakan satu-satunya filsafat moral
yang menghormati integritas kehidupan masing-masing individu. Menurut dia,
Etika Altruis bersifat merusak nilai hidup manusia sebagai individu di dunia
ini. Etika Altruis yang cenderung mengatakan pada setiap orang “hidupmu
hanyalah sesuatu yang bersifat sementara dan pantas dikorbankan,” dapat
dikatakan cenderung menolak nilai diri pribadi manusia. Perhatian pokok kaum altruis bukan bagaimana dapat hidup sepenuh-penuhnya
di dunia ini, tetapi bagaimana mati suci (bagaimana mengorbankan hidup ini)
bagi orang lain. Perhatian pokok macam ini dapat membuat orang kurang
menghargai dan memperkembangkan hidupnya semaksimal mungkin.
Argumen
tersebut kalau mau dirumuskan secara singkat akan berbunyi sebagai berikut:
(1) Setiap pribadi manusia hanya memiliki satu hidup untuk dihayati. Kalau
kita memandang setiap individu bernilai sungguh-sungguh, atau kalau setiap
individu secara moral bernilai dalam dirinya sendiri, maka kita mesti
menyetujui bahwa hidup kita yang satu ini amatlah penting untuk dipertahankan
dan dikembangkan sepenuhnya.
(2) Etika Altruis memandang hidup masing-masing individu sebagai suatu yang
bila perlu mesti direlakan untuk dikorbankan bagi orang lain.
(3) Maka Etika Altruis tidak menganggap serius nilai hidup masing-masing
individu manusia.
(4) Sedangkan, Egoisme Etis, yang memperkenankan setiap pribadi manusia
memandang hidupnya sendiri sebagai bernilai paling tinggi, sungguh mengambil
serius nilai hidup masing -masing individu manusia; bahkan Egoisme Etis dapat
dika-takan merupakan satu-satunya teori moral yang melakukan hal itu.
(5) Maka Egoisme Etis merupakan teori moral yang wajib diterima.
Argumen yang
ketiga yang biasanya dipakai untuk mendukung teori moral Egoisme Etis adalah
kemampuannya untuk secara jelas dan sederhana memberikan satu prinsip dasar
untuk menjelas-kan macam-macam aturan dan pedoman perilaku manusia sehari-hari.
Di balik macam-macam aturan yang mengikat manusia dalam hidupnya sehari-hari,
seperti: tidak boleh menyakiti orang lain, wajib mengatakan yang benar, wajib
menepati janji, dsb., menurut Egoisme Etis, ada satu prinsip dasar, yakni
prinsip mengejar kepentingan diri sendiri. Aturan-aturan tersebut dapat
diterangkan berdasarkan prinsip mengejar kepentingan diri sendiri. Mengapa kita
tidak boleh menyakiti orang lain, misalnya, dapat dijelaskan demikian: apabila
kita biasa menyakiti orang lain, maka orang lain pun tidak akan segan-segan
atau ragu-ragu untuk menyakiti kita. Kalau kita
menyakiti orang lain, orang itu akan melawan dan membalas. Dapat terjadi pula
bahwa karena kita menyakiti orang lain, kita akan dihukum dan dimasukkan
penjara karenanya. Dengan menyakiti orang lain, akhirnya kita sendiri akan
rugi. Maka pada dasarnya merupakan keuntungan bagi diri kita sendiri apabila
kita tidak menyakiti orang lain. Logika pemikiran yang sama dapat dipakai untuk
menjelaskan aturan-aturan lain yang wajib kita patuhi setiap hari.
2.3. Tanggapan Kritis:
Kalau kita
perhatikan argumen pertama di atas secara kritis, maka akan nampak bahwa
argumen tersebut sebenarnya tidak mendukung prinsip egoisme etis. Mengapa
demikian? Alasan pokok yang diberikan dalam argumen pertama untuk mendukung
Egoisme Etis adalah bahwa kalau setiap orang mengejar apa yang dalam jangka
panjang menjadi kepentingannya sendiri yang paling baik, maka perbaikan sosial
atau terpenuhinya kepentingan semua pihak justru akan terjamin, karena
masing-masing individu lah yang paling tahu apa yang dia butuhkan. Kalau
Egoisme Etis sungguh konsisten dengan prinsipnya, maka ia tidak perlu peduli
akan perbaikan sosial atau keterjaminan bahwa kepentingan semua pihak akan
lebih terpenuhi. Kenyataan bahwa dalam argumen pertama hal tersebut dipedulikan
dan bahkan dijadikan alasan untuk bersikap egoistik, maka walaupun Egoisme Etis
menganjurkan untuk berperilaku egoistik, prinsip dasariah yang melandasinya
justru tidak egoistik.
Dalam
argumentasi kedua, Egoisme Etis nampaknya keluar sebagai teori moral yang lebih
baik atau lebih masuk akal daripada Etika Altruis. Akan tetapi hal itu terjadi
karena faham Etika Altruis digambarkan sedemikian ekstrim, sehingga tidak
sesuai dengan apa yang sesungguhnya diajarkan olehnya. Dalam argumen tersebut
diberi kesan bahwa Etika Altruis itu mengajarkan bahwa kepentingan diri sendiri
itu sama sekali tidak bernilai dibandingkan dengan kepentingan orang
lain, sehingga setiap tuntutan untuk mengorbannkannya demi kepentingan
orang lain wajib dipenuhi.
Akan tetapi
gambaran tentang Etika Altruis, sebagaimana diberikan oleh Ayn Rand sebagai
penganjur Egoisme Etis, itu tidak fair, karena yang diajarkan oleh Etika
Altruis tidak seekstrim dalam gambaran tersebut. Yang diajarkan oleh Etika
Altruis adalah bahwa meskipun hidup masing-masing individu di dunia ini
merupakan suatu yang amat bernilai, namun bukanlah satu-satunya nilai dan juga
bukan nilai yang mutlak. Usaha mencapai kebagiaan hidup sejati manusia tidak
lepas dari perlunya bersikap baik terhadap orang lain dan kerelaan untuk
berkorban bagi manusia lain. Kalau hal tersebut sasamasekali diabaikan, karena
nilai hidup masing-masing individu di dunia ini dimutlakkan, maka kebahagiaan
sejati manusia justru tidak akan tercapai. Demikianlah, dengan terlalu memutlakkan
nilai hidup masing-masing individu manusia, Egoisme Etis justru akan
menggagalkan usahanya sendiri untuk mengejar apa yang paling menunjang bagi
terpenuhinya kepentingan diri yang sejati.
Berkenaan
dengan argumentasi ketiga, argumen ini pun tidak berhasil menegakkan Egoisme
Etis sebagai teori moral normatif yang dapat dan perlu diterima. Argumen
tersebut hanya mampu menunjukkan bahwa sebagai pedoman umum dapat
dikatakan bahwa memang lebih menguntungkan bagi diri sendiri untuk melaksanakan
kewajiban dan tidak melanggar larangan sebagaimana diatur dalam pedoman
perilaku sehari-hari. Berusaha untuk tidak menyakiti orang lain memang pada
umumnya lebih menguntungkan untuk diri sendiri. Tetapi hal ini tidak
selalu demikian. Kadang-kadang dalam praktek orang lebih beruntung kalau
dapat menyakiti orang lain terlebih dulu daripada disakiti olehnya. Maka
kewajiban untuk tidak menyakiti orang lain dan kewajiban-kewajiban moral yang
lain tidak dapat diturunkan dari prinsip egoistik untuk mencari apa yang paling
menguntungkan untuk diri sendiri.
Selain itu,
seandainya benar bahwa dengan mendermakan uangnya kepada orang miskin pada
akhirnya diri sendirilah yang diuntungkan, kiranya tidak dapat ditarik
kesimpulan bahwa keuntungan diri sendirilah yang menjadi motif pokok tindakan
mendermakan uang kepada orang miskin. Yang seringkali terjadi adalah bahwa
motif pokok tindakan tersebut memang kepentingan orang yang ditolong, sedangkan
untuk diri sendiri itu hanyalah sekunder atau merupakan akibat samping dari
tindakan mau menolong orang lain tersebut. Seandainya betul bahwa semua
tindakan altruistik itu bermotifkan kepentingan egoistik, maka hidup sosial
manusia akan menjadi lebih sulit, karena dipenuhi rasa kecurigaan. Setiap
perbuatan baik akan selalu ditanggapi dengan sikap sinis, karena toh bukan kepentingan
orang yang ditolong yang menjadi fokus perhatian, tetapi diri sendiri. Orang
yang mendapatkan pertolongan sulit untuk berterima kasih, karena melulu hanya
dijadikan sarana saja bagi pemenuhan kepentingan diri si penolong saja.
Egoisme Etis
biasanya mendasarkan diri pada apa yang dikemukakan oleh Egoisme Psikologis.
Tetapi kita sudah lihat di atas, bahwa pendapat pokok Egoisme Psikologis tidak
dapat dipertahankan. Sebagaimana Egoisme Psikologis, Egoisme Etis meredusir
kompleksitas motivasi tindakan manusia pada motif mencari apa yang
menguntungkan bagi diri sendiri. Tetapi ini tidak sesuai dengan kenyataan.
Bahwasanya Egoisme Etis dapat menjelaskan kewajiban moral atas dasar prinsip
kepentingan diri atau motif mencari apa yang menguntungkan bagi diri sendiri,
belumlah merupakan bukti bahwa kepentingan diri merupakan satu-satunya dasar
bagi kewajiban moral. Hanya kalau dapat dibuktikan bahwa kepentingan diri
merupakan satu-satunya dasar bagi kewajiban moral, maka Egoisme Etis
sebagai suatu teori moral normatif tidak dapat diterima.
C. Ciri-ciri Perilaku Egois
Pada
anak usia prasekolah perilaku egois bila sekali-sekali muncul masih dapat
dikatakan wajar, tetapi bila dilakukan dalam frekuensi dan intensitas yang tinggi
digolongkan pada perilaku bermasalah. Ciri-ciri perilaku egois yang melebihi
batas normal/bermasalah diantaranya adalah sebagai berikut :
•
Anak kurang mampu mengontrol diri/emosi, cenderung agresif;
•
Harga diri dan empati kurang berkembang;
•
Memiliki sikap penuntut;
•
Kualitas hubungan sosialnya buruk, sulit menjalin relasi dengan anak lain;
•
Memandang orang lain secara negatif;
•
Sering merebut mainan / barang yang dipegang oleh temannya;
•
Enggan untuk berbagi kesenangan, mainan, atau makanan dengan orang lain;
•
Suka merajuk atau menangis / merengek-rengek jika keinginannya tidak segera
dituruti.
D. Penyebab Sifat Egois Pada Anak
Penyebab
perilaku egois biasanya karena perlakuan dan pola asuh orang tua/pengasuh yang
tidak tepat (misalnya kasih sayang orang tua yang berlebihan atau kurang, sikap
orang tua yang permisif, tidak menanamkan disiplin, moral dan tanggung jawab
yang diperlukan anak sebagai pengarah dalam berperilaku). Sifat egois bukanlah
sifat bawaan atau keturunan, tapi masalah pembiasaan. Perkembangan sosial
seorang anak dipengaruhi oleh lingkungannya, baik dari orang tua maupun
orang-orang di sekitarnya. Berikut beberapa faktor mengapa anak bersifat egois
:
•
Perhatian yang berlebihan.
Pemujaan
kepada anak secara berlebihan membuat orang tua memanjakan anak dengan cara
memenuhi segala keinginannya. Sehingga anak terbiasa mendapatkan apapun tanpa
usaha dan perjuangan terlebih dahulu. Anak juga tidak terbiasa mengembangkan
rasa toleransi dan sabar kepada orang lain. Anak tidak diajari untuk menunda
kepuasan atau mendapatkan sesuatu sebagai hadiah dari usaha yang keras.
Kemudahan mendapatkan sesuatu tanpa perlu usaha membuat anak mengambil
kesimpulan bahwa ia bisa mendapatkan apapun yang dia inginkan dengan mudah saat
itu juga.
•
Perlindungan yang berlebihan.
Dalam
menunjukkan rasa sayang kepada anak, seringkali orang tua memberi perlindungan
yang berlebih dari berbagai macam kegagalan dan kesalahan. Rasa kekhawatiran
yang mendalam juga membuat orangtua menghindarkan anak mereka dari
pekerjaan-pekerjaan yang sebenarnya bisa dilakukan anak seusianya. Karena
khawatir baju anak kotor, orang tua menyuruh pembantu untuk selalu menyuapi
makan. Karena khawatir diganggu teman di taman, orang tua menyuruh pengasuh
untuk selalu berada di dekat sang anak dan siap melayani. Maka anak akan
terbiasa menyuruh-nyuruh orang seperti yang telah dicontohkan orang tuanya,
bahkan untuk pekerjaan-pekerjaan sederhana yang sebenarnya bisa dia lakukan.
•
Anak yang mempunyai kebutuhan-kebutuhan khusus (misalnya anak yang sering
sakit-sakitan), sering kali mendapatkan perhatian khusus. Jika tidak hati-hati
anak seperti ini bisa tumbuh menjadi anak yang egois, karena dia menganggap
semua harus dipusatkan pada dia. Itulah sebabnya salah satu ciri juga anak-anak
yang egois adalah dia menganggap diri sebagai kasus khusus, artinya
keinginannya harus didahulukan sebab dia merupakan kasus perkecualian.
E.
Karakteristik yang Dimiliki
Orang Egois
- Keras kepala
Orang yang egois biasanya mau menang sendiri dan tidak
mau mendengarkan pendapat orang lain. Karena bagi dia, hanya pendapatnya yang
paling benar dan harus diikuti sama orang lain. Terkadang saking keras kepalanya,
meskipun sudah terbukti pendapatnya salah, orang egoisn tetap tidak mau
mengakuinya.
- Mudah Emosi
Orang yang punya sifat egois mudah sekali naik darah,
terutama saat keinginannya tidak bisa tercapai. Bahkan orang egois bisa marah
besar hanya gara-gara hal sepele seperti tidak diperhatikan saat dia lagi
bicara atau melakukan sesuatu.
- Pemberontak
Umumnya orang yang memiliki sifat egois itu susah sekali
diatur sama orang lain. Dan saat punya kemauan yang besar, dia tidak akan
segan-segan untuk melanggar semua peraturan yang ada demi mencapai tujuannya.
- Haus Perhatian
Sebagai orang yang over self centered, orang
egois pasti ingin selalu diperhatikan sama otrang lain. Dan dia tidak cukup puas dengan perhatian yang
biasa-biasa saja, dia ingin setiap saat semua orang hanya fokus melihat ke arah
dirinya saja.Intinya orang yang egois adalah orang yang selalu mementingkan
dirinya sendiri, selalu ingin dinomersatukan dan menganggap dirinya yang paling
berharga. Tipe orang yang kelihatannya tidak peduli sama perasaan orang lain,
asalkan keinginanya bisa terpenuhi. Makanya tudak heran kalau terkadang orang
egois terlihat seperti kurang ”manusiawi” dalam memperlakukan orang lain.
Demikian sekilas tentang Egoisme-Makalah Psikologi. Semoga bermanfaat.
Oleh : Dian Pranata
Langganan:
Postingan (Atom)