Sabtu, 22 Oktober 2011

Mempelajari Epistemologi

Secara historis, istilah epistemologi digunakan pertama kali oleh J.F. Ferrier, untuk membedakan dua cabang filsafat, epistemologi dan ontologi. Sebagai sub sistem filsafat, epistemologi ternyata menyimpan “misteri” pemaknaan yang tidak mudah dipahami. Pengertian epistemologi ini cukup menjadi perhatian para ahli, tetapi mereka memiliki sudut pandang yang berbeda ketika mengungkapkannya, sehingga didapatkan pengertian yang berbeda-beda, buka saja pada redaksinya, melainkan juga pada substansi persoalannya.
Substansi persoalan menjadi titik sentral dalam upaya memahami pengertian suatu konsep, meskipun ciri-ciri yang melekat padanya juga tidak bisa diabaikan. Lazimnya, pembahasan konsep apa pun, selalu diawali dengan memperkenalkan pengertian (definisi) secara teknis, guna mengungkap substansi persoalan yang terkandung dalam konsep tersebut. Hal iini berfungsi mempermudah dan memperjelas pembahasan konsep selanjutnya. Misalnya, seseorang tidak akan mampu menjelaskan persoalan-persoalan belajar secara mendetail jika dia belum bisa memahami substansi belajar itu sendiri. Setelah memahami substansi belajar tersebut, dia baru bisa menjelaskan proses belajar, gaya belajar, teori belajar, prinsip-prinsip belajar, hambatan-hambatan belajar, cara mengetasi hambatan belajar dan sebagainya. Jadi, pemahaman terhadap substansi suatu konsep merupakan “jalan pembuka” bagi pembahasan-pembahsan selanjutnya yang sedang dibahas dan substansi konsep itu biasanya terkandung dalam definisi.

A.             Manfaat mempelajari epistemologi secara teoritis dan praktis
Epistemologi bermaksud mengkaji dan mencoba menemukan ciri-ciri umum dan hakiki dari pengetahuan manusia. Epistemologi juga bermaksud mengkaji pengandaian-pengandaian dan syarat-syarat logis yang mendasari dimungkinkannya pengetahuan itu. Epistemologi juga mencoba memberi pertanggungjawaban rasional terhadap klaim kebenaran dan obyektivitasnya.
Dari maksud itu, maka Epistemologi dapat dinyatakan suatu disiplin ilmu yang bersifat evaluatif, normative, dan kritis. Evaluatif berarti bersifat menilai. Epsitemologi menilai apakah keyakinan, sikap, pernyataan pendapat, teori pengatahuan dapat dibenarkan, diajamin kebenarannya, atau memiliki dasar yang dapat dipertanggungjawabkan secara nalar.
Sebagai sub sistem filsafat, epistemologi atau teori pengetahuan yang pertama kali digagas oleh Plato ini memiliki objek tertentu. Objek epistemologi ini menurut Jujun S.Suriasumatri berupa “segenap proses yang terlibat dalam usaha kita untuk memperoleh pengetahuan.” Proses untuk memperoleh pengetahuan inilah yang menjadi sasaran teori pengetahuan dan sekaligus berfungsi mengantarkan tercapainya tujuan, sebab sasaran itu merupakan suatu tahap pengantara yang harus dilalui dalam mewujudkan tujuan. Tanpa suatu sasaran, mustahil tujuan bisa terealisir, sebaliknya tanpa suatu tujuan, maka sasaran menjadi tidak terarah sama sekali.
Selanjutnya, apakah yang menjadi tujuan epistemologi tersebut. Jacques Martain mengatakan: “Tujuan epistemologi bukanlah hal yang utama untuk menjawab pertanyaan, apakah saya dapat tahu, tetapi untuk menemukan syarat-syarat yang memungkinkan saya dapat tahu”. Hal ini menunjukkan, bahwa epistemologi bukan untuk memperoleh pengetahuan kendatipun keadaan ini tak bisa dihindari, akan tetapi yang menjadi pusat perhatian dari tujuan epistemologi adalah lebih penting dari itu, yaitu ingin memiliki potensi untuk memperoleh pengetahuan.
Rumusan tujuan epistemologi tersebut memiliki makna strategis dalam dinamika pengetahuan. Rumusan tersebut menumbuhkan kesadaran seseorang bahwa jangan sampai dia puas dengan sekedar memperoleh pengetahuan, tanpa disertai dengan cara atau bekal untuk memperoleh pengetahuan, sebab keadaan memperoleh pengetahuan melambangkan sikap pasif, sedangkan cara memperoleh pengetahuan melambangkan sikap dinamis. Keadaan pertama hanya berorientasi pada hasil, sedangkan keadaan kedua lebih berorientasi pada proses. Seseorang yang mengetahui prosesnya, tentu akan dapat mengetahui hasilnya, tetapi seseorang yang mengetahui hasilnya, acapkali tidak mengetahui prosesnya. Guru dapat mengajarkan kepada siswanya bahwa dua kali tiga sama dengan enam (2 x 3 = 6) dan siswa mengetahui, bahkan hafal. Namun, siswa yang cerdas tidak pernah puas dengan pengetahuan dan hafalan itu. Dia tentu akan mengejar bagaimana prosesnya, dua kali tiga didapatkan hasil enam. Maka guru yang profesional akan menerangkan proses tersebut secara rinci dan mendetail, sehingga siswa benar-benar mampu memahaminya dan mampu mengembangkan perkalian angka-angka lainnya.

RASIONAL MENGAPA MEMPELAJARI EPISTEMOLOGI
Sekurang-kurangnya ada tiga alasan yang dapat dikemukakan mengapa epistemologi perlu dipelajari.
1.      Pertimbangan Strategis:
Pengetahuan adalah kekuasaan (Knoledge is power). Pengetahuan mempunyai daya kekuatan untuk mengubah keadaan. “Apabila pengetahuan adalah suatu kekuatan yang telah dan akan terus membentuk kebudayaan, menggerakan dan mengubah dunia, sudah semestinyalah apabila kita berusaha memahami apa itu pengethauan, apa sifat dan hakikatnya , apa daya dan ketebatasnnya, apa kemungkinan permasalahannya.
Kajian epistemologis perlu karena pengetahuan sendiri merupakan hal yang secara strategis penting bagi hidup manusia. Strategi berkenaan dengan bagaimana mengelola kekuasaan atau daya kekuatan yang ada. Sehingga tujuan dapat tercapai. Pengetahuan pada dasarnya adalah suatu kekuasaan atau daya. Sudah sejak Francis Bacon (1561-1626) orang disadarkan akan kenyataan bahwa pengetahuan adalah suatu kekuasaan (knowledge is power). Pengetahuan mempunyai daya kekuatan untuk mengubah keadaan. Seperti yang dikatakan Pranarka: “Apabila pengetahuan adalah suatu kekuatan yang telah dan akan terus membentuk kebudayaan, mneggerakkan dan mengubah dunia, sudah semestinyalah apabila kita berusaha memahamii apa itu pengetahuan, apa sifat dan hakikatnya, apa daya dan keterbatasannnya, apa kemungkinan dan permasalahannya.” Pertanyaan-pertanyaan asasi tentang pengetahuan seperti itu dicoba untuk dijawab oleh epistemologi
2.      Pertimbangan Kebudayaan:
Mempelajari epistemology diperlukan pertama-tama untuk mengungkap pandangan epistemologis yang sesungguhnya ada dan terkandung dalam setiap kebudayaan. Setiap kebudayaan, entah secara implicit ataupun ekplisit, entah hanya lisan atau tulisan , entah secara sistematis ataupun tidak, selalu memuat pandangan tentang pengetahuan.
Pengetahuan merupakan salah satu unsur kebudayaan. Pengetahuan memegang peran penting. Berkat pengetahuan, manusia dapat mengolah dan mendayagunakan alam lingkungannya. Ia juga dapat mengenali permasalahan yang dihadapi, menganalisis, menafsirkan pengalaman dan peristiwa-peristiwa yang dihadapinya, menilai situasi serta mengambil keputusan untuk berkegiatan.
Dari segi pertimbangan kebudayaan, memperlajari epistemologi diperlukan pertama-pertama untuk mengungkap pandangan epistemologis yang sesungguhnya ada dari kandungan dalam setiap kebudayaan. Setiap kebudayaan, entah implisit atau eksplisit, entah hanya secara lisan atau tulisan, entah secara sistematis ataupun tidak, selalu memuat pandangan penting tentang pengetahuan berikut arti dan pentingnya dalam kehidupan manusia.

3.      Pertimbangan pendidikan: berdasarkan pertimbangan pendidikan epistemology perlu dipelajarai karena manfaatnya untuk bidang pendidikan. Pendidikan sebagai usaha sadar untuk membantu peserta didik mengembangkan pandangan hidup, sikap hidup dan ketrampilan hidup, tidak dapat lepas dari penguasaan pengetahuan. Proses Belajar Mengajar dalam konteks pendidikan selalau memuat unsure penyampaian pengetahuan, ketrampilan, dan nilai-nilai.
Epistemologi perlu dipelajari karena manfaatnya untuk bidang pendidikan. Pendidikan sebagai usaha sadar untuk membantu peserta didik mengembangkan pandangan hidup, serta sikap hidup dan keterampilan hidup, tidak dapat lepas dari penguasaan pengetahuan.
Pengetahuan tentang peta ilmu, sejarah perkembangannya, sifat hakiki, dan cara kerja ilmu yang diandikan dimiliki oleh mereka yang mau mengelola pendidikan merupakan pokok bahasan dalam kajian epistemologi.

B.     Tokoh epistemologi dalam pandangan
Manusia adalah makhluk yang lemah dibanding makhluk lain namun dengan akal budinya dan kemauannya yang sangat kuat maka manusia dapat mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan ilmu pengetahuan dan  teknologi manusia dapat hidup dengan lebih baik lagi. Akal budinya dan kemauannya yang sangat kuat itulah sifat unik dari manusia.
Rasa ingin tahu makhluk lain lebih didasarkan oleh naluri (instinct) /idle curiosity naluri ini didasarkan pada upaya mempertahankan kelestaraian hidup dan sifatnya tetap sepanjang zaman. Manusia juga mempunyai naluri seperti tumbuhan dan hewan tetapi ia mempunyai akal budi yang terus berkembang serta rasa ingin tahu yang tidak terpuaskan. Sesuatu masalah yang telah dapat dipecahkan maka akan timbul masalah lain yang menunggu pemecahannya, manusia setelah tahu apanya maka ingin tahu bagimana dan mengapa. Contoh : tempat tinggal manusia purba sampai manusia modern, contoh lain seperti penyakit setelah ditemukan obat suatu penyakit ada penyakit lain lagi yang dicoba untuk dicari obatnya (HIV AIDS)
Manusia yang mempunyai rasa ingin tahu terhadap rahasia alam mencoba menjawab dengan menggunakan pengamatan dan penggunaan pengalaman, tetapi sering upaya itu tidak terjawab secara memuaskan. Pada manusia kuno untuk memuaskan mereka menjawab sendiri. Misalnya kenapa ada pelangi mereka membuat jawaban, pelangi adalah selendang bidadari atau kenapa gunung meletus jawabannya karena yang berkuasa marah. Dari hal ini timbulnya pengetahuan tentang  bidadari dan sesuatu yang berkuasa. Pengetahuan baru itu muncul dari kombinasi antara pengalaman dan kepercayaan yang disebut mitos. Cerita-cerita mitos disebut legenda. Mitos dapat diterima karena keterbatasan penginderaan, penalaran, dan hasrat ingin tahu yang harus dipenuhi. Sehubungan dengan dengan kemajuan zaman, maka lahirlah ilmu pengetahuan dan metode ilmiah.
Puncak pemikiran mitos  adalah pada zaman Babilonia  yaitu kira-kira 700-600 SM. Orang Babilonia berpendapat  bahwa alam semesta  itu sebagai ruangan setengah bola dengan bumi yang datar sebagai lantainya dan langit dan bintang-bintang sebagai atapnya. Namun yang menakjubkan mereka telah mengenal bidang ekleptika sebagai bidang edar matahari dan menetapkan perhitungan  satu tahun yaitu satu kali matahari beredar ketempat semula, yaitu 365,25 hari. Pengetahuan dan ajaran tentang orang Babilonia setengahnya merupakan dugaan, imajinasi, kepercayaan atau mitos pengetahuan semacam ini disebut Pseudo science (sains palsu).
Ilmu kuno kadang-kadang cerita dari sekelompok individu, baik yang terisolasi atau yang dihubungkan dengan hubungan renggang, sering berkomunikasi melintasi abad atau lebih dalam daripada tulisan-tulisan mereka bekerja bersama dalam usaha kolektif yang berkelanjutan atau institusi (seperti yang kita kenal sekarang).
Namun Thales diikuti oleh dua penerusnya dalam abad yang sama di kota yang sama Miletos, keduanya menganjurkan variasi dari monisme, gagasan bahwa segala sesuatu dapat dikurangi menjadi satu prinsip. Ketika Thales menyatakan bahwa air adalah prinsip dari segala sesuatu , implikasi penting dari deklarasi adalah bahwa segala sesuatu yang terbuat dari satu prinsip ilahi yang abadi, terlepas dari apa yang mungkin prinsip pertama.
Komitmen terhadap monisme menjadi warisan Thales, dilanjutkan dan menegaskan pada gilirannya oleh Anaximandros (halaman ini) dan Anaximenes. Seperti Thales, Anaximandros dari Miletos menolak dewa Olimpia antropomorfik mendukung impersonal dan konsepsi monistik keilahian - bahwa segala sesuatu adalah Satu.
Bahwa segala sesuatu yang terbuat dari air bukan pernyataan satu jenis didorong oleh observasi. Argumen dulu dan sekarang tentang realitas apa dan bagaimana ia paling terkenal dilakukan pada bidang intelektual yang tinggi, dan memerlukan dorongan untuk rasional ditentukan urutan di alam semesta yang terbang dalam menghadapi pengamatan normal - ini adalah kasus khusus untuk setiap pernyataan bahwa segala sesuatu sebenarnya sama. Namun Anaximandros 'jawaban itu tampak lebih jauh dihapus dari pengalaman dan pengamatan umum daripada air.
Anaximandros beralasan bahwa hal-hal baru terus-menerus datang untuk menjadi dari kuantitas tak terbatas materi, dan hal-hal ini memiliki sifat yang berlawanan; misalnya, ada yang basah dan yang lain kering. Namun jika air adalah prinsip segala sesuatu, maka segala sesuatu harus basah. Air dan api dapat menghancurkan satu sama lain, jadi bagaimana api bisa datang untuk dapat dari hanya air?. Sebaliknya, air harus dipertimbangkan sebagai sendiri salah satu berlawanan; oleh karena itu tidak bisa menjadi hal yang utama (kontra Thales). Jadi hal utama harus menjadi sesuatu yang belum terdiferensiasi, tanpa kualitas, yang dapat menimbulkan baik basah-kering, panas-dingin, dan sifat-sifat berlawanan lainnya dalam jumlah yang sama dan secara simultan.

Tokoh-tokoh Yunani dan lainnya yang memberikan sumbangan perubahan pemikiran pada waktu itu adalah :
1.      Anaximandros (610-547 SM), seorang filusuf Yunani yang berpendapat bahwa “asal alam itu satu, tetapi bukan air akan tetapi “Apeiron” yang tidak ada persamaannya di muka bumi ini, berbeda dengan pendapat gurunya Thales (640-545 SM) yang berpendapat bahwa “asal alam ini adalah air”.
Apeiron dianggap sebagai Anaximandros ilahi, abadi, dan tak dapat dihancurkan; dari itu segala sesuatu timbul, semua langit dan dunia di dalam diri mereka. "Tidak ada awal yang tak terbatas [apeiron], karena dalam kasus itu akan berakhir. Tapi ini tanpa awal dan tak dapat dihancurkan, sebagai semacam prinsip pertama, karena itu perlu bahwa apa pun yang datang menjadi ada harus memiliki akhir, dan ada kesimpulan dari semua kehancuran.
Oleh karena itu seperti yang kita katakan, tidak ada prinsip pertama ini [yaitu apeiron], tapi itu sendiri tampaknya menjadi prinsip pertama dari semua hal-hal lain dan untuk mengelilingi semua dan untuk mengarahkan semua , seperti kata mereka yang berpikir bahwa tidak ada penyebab lain selain yang tak terbatas (seperti pikiran, atau persahabatan), tetapi itu sendiri adalah ilahi, sebab itu adalah abadi dan tak dapat dihancurkan, sebagai Anaximandros dan sebagian besar fisikawan katakan. ".
"Tidak ada awal yang tak terbatas [apeiron], karena dalam kasus itu akan berakhir. Tapi ini tanpa awal dan tak dapat dihancurkan, sebagai semacam prinsip pertama, karena itu perlu bahwa apa pun yang datang menjadi ada harus memiliki akhir, dan ada kesimpulan dari semua kehancuran. Oleh karena itu seperti yang kita katakan, tidak ada prinsip pertama ini [yaitu apeiron], tapi itu sendiri tampaknya menjadi prinsip pertama dari semua hal-hal lain dan untuk mengelilingi semua dan untuk mengarahkan semua , seperti kata mereka yang berpikir bahwa tidak ada penyebab lain selain yang tak terbatas (seperti pikiran, atau persahabatan), tetapi itu sendiri adalah ilahi, sebab itu adalah abadi dan tak dapat dihancurkan, sebagai Anaximandros dan sebagian besar fisikawan katakan. "


Anaximandros berpendapat bahwa jagad raya berasal dari semua yang tidak terhingga (apeiron). Menurut Anaximandros jagad raya ini terjadi tidak berkeputusan, apeiron bekerja tidak pernah berhenti, tidak berhingga banyaknya. Apeiron tidak dapat dirupakan, tidak ada persamaan dengan salah satu materi yang ada di jagad raya ini, apeiron tidak kenal waktu dan menyelubungi semua jagad raya. Menurut Anaximadros bumi berbentuk silinder yang terletak persis di pusat jagat raya, jadi bukan di atas air.

2.      Anaximenes (538-480 SM) berpandangan lain lagi, bahwa prinsip pertama jagad raya ini adalah udara, Anaximenes tidak dapat menerima pandangan Anaximandros, bagaimana mungkin hal yang tidak terbatas dapat menjadi asas seluruh jagad raya dengan segala isinya ?. Bagi Anaximenes udaralah yang pantas menjadi asas bagi jagad raya ini. Manusia akan mati apabila udaranya tidak ada, sebagaimana jiwa manusia yang tidak lain adalah udara, begitu pula udara juga mengikat dunia ini menjadi satu, hal ini mungkin karena pemadatan udara dan pengencerannya. Karena udara memadat maka timbullah secara berturut-turut angin, tanah, dan batu, sebaliknya karena udara menjadi encer dan cair, maka timbullah api. Demikian udara menjadi anasir-anasir yang membentuk jagat raya dan segala isinya. Anaximenes adalah pemikir pertama yang mengemukakan persamaan antara tubuh dengan jagat raya. Tubuh menurut Anaximenes adalah mikrokosmos, sedangkan jagat raya adalah makrokosmos,
tetapi Anaximenes sendiri belum menggunakan istilah itu.
3.       Herakleitos, (560-470 SM) pengkoreksi pendapat Anaximenes,  justru apilah yang menyebabkan transmutasi, tanpa ada api benda-benda akan seperti apa adanya.
Ia mengatakan bahwa hanya satu anasir, yaitu api. Api yang mudah bergerak dan bertukar rupa menjadi kiasan dari suatu kejadian, tidak ada yang boleh disebut “ada” melainkan “menjadi”. Dunia ini senantiasa berubah, dan segala perubahan itu dikuasai oleh hukum dunia yang satu yaitu “logos”. Logos adalah pikiran yang benar. Dari kata itu muncul kemudian “logika”.
4.      Thales, (600 SM) berpendapat bahwa kehidupan itu berasak dari satu anasir saja yaitu
air,dan semua akan kembali kepada air. Thales menyatakan bahwa air adalah prinsip dari segala sesuat.

Demikian sekilas mengenai epistemologi. Semoga bermanfaat. Have a nice day

Tidak ada komentar:

Posting Komentar